"Jepang juga memiliki regulasi telekomunikasi yang mendukung inovasi dan kompetisi antar penyedia layanan, sementara di Indonesia, regulasi sering kali terhambat oleh birokrasi yang kompleks dan kurangnya koordinasi antar lembaga, yang memperlambat proyek infrastruktur [menara BTS/penanaman kabel optik]," jelasnya.
Heru lantas mengkritik koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah yang lemah, dan kadang kala dapat memperburuk situasi. "Korupsi dan tata kelola yang buruk menyebabkan alokasi dana untuk proyek infrastruktur, tidak tepat sasaran dan ada pemborosan yang tidak sesuai dengan hasil kerja," jelas dia.
Oleh karena itu, Heru menegaskan, untuk mengejar ketertinggalan dari Jepang dan mempercepat transformasi digital, pemerintah perlu mengambil langkah konkret, seperti:
- Meningkatkan investasi di wilayah 3T melalui program seperti Palapa Ring Integrasi.
- Menyederhanakan proses perizinan dan memperkuat koordinasi antar lembaga.
- Menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran infrastruktur digital.
Percepatan pemerataan akses internet tetap berkecepatan tinggi hingga 100 Mbps menjadi salah satu program pemerintahan Prabowo Subianto, khususnya di wilayah yang belum terjangkau jaringan serat optik, termasuk sekolah, puskesmas, hingga kantor desa.
Meutya Hafid, Menkomdigi menegaskan inisiatif ini akan difasilitasi melalui alokasi spektrum baru dan penerapan skema jaringan terbuka (open access). Kebijakan tersebut memungkinkan berbagai penyedia layanan saling berbagi infrastruktur demi memperluas jangkauan dan menjaga tarif tetap terjangkau.
Komdigi mencatat masih banyak fasilitas publik yang belum memiliki akses internet tetap. Sekitar 86 persen sekolah (setara 190.000 unit) belum tersambung jaringan tetap, 75% puskesmas (7.800 unit) masih offline, dan 32.000 kantor desa berada dalam zona blank spot. Sementara itu, penetrasi layanan fixed broadband baru mencapai 21,31% rumah tangga secara nasional.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah pun menyiapkan spektrum frekuensi baru yang akan dialokasikan kepada operator melalui proses seleksi terbuka dan transparan. Calon operator wajib bersedia membuka jaringan mereka untuk dipakai bersama. Regulasi pendukung berupa Peraturan Menteri telah melalui konsultasi industri selama lebih dari sebulan dan akan menjadi dasar pelaksanaan program ini.
"Ini adalah langkah kami dalam memastikan bahwa setiap kebijakan spektrum tidak hanya mengutamakan aspek regulasi, tapi juga membuka ruang seluas-luasnya untuk keterlibatan dan kesiapan industri," tutur Meutya.
Adapun program ini dijadwalkan mulai berjalan tahun ini, dengan seleksi operator dilakukan berdasarkan kesiapan teknologi dan komitmen menyediakan layanan dengan harga terjangkau.
Sebelumnya, Dirjen Infrastruktur Digital Komdigi Wayan Toni Supriyanto mengatakan, target program internet murah berkecepatan hingga 100 Mbps dengan tarif sekitar Rp100 ribu per bulan akan dijalankan melalui seleksi frekuensi 1,4 GHz yang dijadwalkan berlangsung tahun ini.
*) Artikel ini mendapatkan pembaruan dengan pernyataan dari Kementerian Komdigi.
(wep)

































