Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Perseteruan antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) semakin memanas.

Berawal dari persoalan Kolegium sendiri yang dilakukan Kemenkes dan melakukan pemindahan (mutasi) dan pemberhentian secara sepihak oleh Kementerian Kesehatan.

Pihak IDI dan IDAI pun menggugat ke Mahkamah konstitusi terkait UU nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan. Terutama terkait Kolegium.

Kolegium sendiri memiliki tugas utama menyusun standar kompetensi dan standar pendidikan spesialis dan sub spesialis.

Dalam persidangan yang dilakukan, Selasa (3/6/2025), Menkes Budi Gunadi Sadikin menyampaikan pemerintah tidak lagi menempatkan kolegium di bawah organisasi profesi sebagai bagian dari transformasi tata kelola sumber daya manusia kesehatan. 

Sebab, menurut dia, ketika kewenangan kolegium di bawah organisasi profesi mengakibatkan potensi konflik kepentingan menjadi sangat besar.

“Ketika kewenangan kolegium yang terdampak pada hajat hidup orang banyak berada di bawah organisasi profesi, yang memiliki kepentingan untuk melindungi dan menyejahterakan anggotanya, maka potensi konflik kepentingan menjadi sangat besar,” ujar Budi memberikan keterangan untuk Perkara Nomor 182/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta seperti yang dikutip dari situs Mahkamah Konstitusi, Senin (9/6/2025).

Dalam persidangan, Budi juga mengutarakan melalui Pasal 268 ayat (1) UU Kesehatan terdapat ketentuan pembentukan konsil untuk meningkatkan mutu dan kompetensi teknis keprofesian tenaga medis (named) dan tenaga kesehatan (nakes) serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat. 

Kemudian pada Pasal 270 UU Kesehatan disebutkan keanggotaan konsil berasal dari unsur pemerintah pusat, profesi tenaga medis dan tenaga kesehatan, kolegium, dan masyarakat.

Budi menambahkan dalam Pasal 272 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan mengatur kolegium dibentuk setiap kelompok ahli tiap disiplin ilmu kesehatan untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan named dan nakes. Kolegium memiliki peran menyusun standar kompetensi named dan nakes serta standar kurikulum pelatihan tenaga medis dan tenaga kesehatan.

“Penyusunan standar kompetensi harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas dan bebas dari konflik kepentingan kelompok profesi tertentu dengan tujuan memastikan akses yang merata sekaligus menjaga mutu dan keamanan pelayanan kesehatan,” ujarnya.

“Kolegium menjalankan tugas dan fungsinya secara independen dengan memastikan setiap keputusan kolegium bebas dari konflik kepentingan dan selalu menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas utama,” tambahnya.

Kemudian, Budi menuturkan, posisi kolegium diperkuat dan ditarik menjadi alat kelengkapan konsil guna lebih fokus dalam ranah pengembangan keilmuan dan pendidikan yang akan mendukung pemerintah dalam upaya penyediaan pelayanan kesehatan yang mudah aksesnya, baik kualitasnya dan terjangkau biayanya bagi masyarakat. 

“Sebab, ketika standar kompetensi yang dibuat makin spesialistik dapat membuat masyarakat khususnya di daerah terpendil kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan karena keterbatasan tenaga medis spesialis dan subspesialis,” tutupnya.

Di sidang sebelumnya, para penggugat yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang diwakili Ketua Umum Adib Khumaidi dan Sekretaris Jenderal Ulul Albab bersama 52 perorangan lainnya yang berstatus sebagai dokter, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dosen, karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), polisi, TNI, pelajar/mahasiswa, pensiunan, serta ibu rumah tangga menjadi Pemohon pengujian materi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. 

Para Pemohon Perkara Nomor 182/PUU-XXII/2024 tersebut memperbaiki permohonan dengan setidaknya menyusun enam klasterisasi alasan-alasan permohonan.

Kuasa hukum pemohon, M. Joni mengatakan klasterisasi tersebut, di antaranya klaster penghapusan organisasi profesi tenaga medis dalam wadah tunggal dengan Pasal 311 ayat (1) UU 17/2023 bertentangan dengan UUD 1945; penghapusan konsil kedokteran Indonesia dengan menggabungkan konsil untuk tenaga medis dan konsil untuk tenaga kesehatan menjadi konsil serta penumpukan kekuasaan dan sentralisasi wewenang berada dalam satu tangan menteri kesehatan untuk mengendalikan fungsi konsil sehingga merugikan hak konstitusional para Pemohon dan bertentangan dengan UUD 1945; penghapusan kolegium sebagai academic body organisasi profesi; penghapusan rekomendasi organisasi profesi dan pengelolaan kecukupan SKP sebagai bagian dari urusan organisasi profesi; kekeliruan menentukan sanksi pidana atas perbuatan mempekerjakan tenaga medis yang tidak mempunyai surat izin praktik yang bukan perbuatan pidana sehingga bertentangan dengan UUD 1945; serta pencabutan atas dicabut dan dinyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tanpa alasan rasional dan menimbulkan kekacauan hukum serta ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

(spt)

No more pages