Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Kementerian Perindustrian mensinyalir masih terkontraksinya indeks kinerja manufaktur Indonesia yang tecermin dalam Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia akibat banjir produk impor produk jadi di pasar domestik.

Selain itu, industri tanah air juga kini masih dibayangi dengan efek tekanan ekonomi global sebagai imbas tarif Amerika Serikat (AS), yang pada akhirnya juga membuat penurunan pemesanan dan lesunya permintaan pasar.

"Industri manufaktur dalam negeri masih mengalami tekanan di tengah dinamika ekonomi global dan banjirnya impor produk jadi di pasar domestik," ujar Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief dalam siaran resminya, dikutip Selasa (3/6/2025).

Febri mengatakan, para pelaku industri saat ini juga tengah mengalami kendala lantaran sulit mendapatkan
kapal sebagai alat angkut logistik akibat pengaruh cuaca buruk.

Perlambatan kinerja industri tersebut, kata dia, juga diakibatkan oleh volume produksi yang anjlok, yang salah satunya akibat harga bahan baku yang juga diklaim terus mengalami kenaikan. 

“Ini yang membuat industri kita tidak berdaya saing dengan kompetitor, karena harga jual dari kompetitor juga tidak naik, terjadilah efisiensi,” tuturnya.

S&P Global sebelumnya melaporkan PMI Manufaktur Indonesia pada Mei tahun ini yang masih berada dalam fase kontraksi dengan level 47,4. Namun demikian, angka tersebut meningkat dibanding April lalu yang masih di level 46,7.

PMI di bawah 50 menunjukkan aktivitas yang kontraksi, bukan ekspansi. Dengan demikian, PMI manufaktur Indonesia sudah 2 bulan berada di zona kontraksi.

Negara-negara lain di Asia juga mengalami hal serupa, seperti Vietnam yang mengalami kontraksi selama 7 bulan berturut-turut, diikuti Taiwan yang juga kontraksi selama dua bulan terakhir.

Jepang dan Korea Selatan juga mencatatakan kontraksi, sekaligus mencerminkan ketidakpastian yang sedang berlangsung di tengah kampanye tarif Presiden Donald Trump dan sifat kebijakan perdagangan AS yang tidak konsisten, Bloomberg News melaporkan.

Serap Tenaga Kerja 

Di sisi lain, Febri mengatakan, berdasarkan laporan yang sama, para pelaku industri masih percaya diri (PD) di tengah masa sulit saat ini, dan mereka menilai kondisi ini akan berlalu secepatnya dan kinerja industri kembali
bertumbuh.

Kepercayaan diri para pelaku industri ini terlihat dari upaya mereka yang masih berkomitmen untuk menambah jumlah tenaga kerja, yang juga didukung oleh data internal mereka sepanjang kuartal pertama tahun ini.

Berdasarkan data tersebut, terdapat sebanyak 359 jumlah perusahaan industri yang melapor sedang dalam proses pembangunan fasilitas produksi dengan serapan tenaga kerja sebanyak 97.898 orang.

Angka tersebut juga lebih tinggi dibandingkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) di semua sektor termasuk sektor industri manufaktur, yang disampaikan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

"Kami menyampaikan data serapan tenaga kerja manufaktur bukan berarti kami tidak peduli dengan penutupan beberapa perusahaan industri atau pekerja yang mengalami PHK di berbagai sektor akan tetapi sebagai bentuk optimisme kami atas kinerja
industri manufaktur nasional ke depan,” kata Febri.

Banjir Impor China

Dalam kesempatan terpisah, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor nonmigas RI dari China sebesar US$7,07 miliar sepanjang April 2025, meningkat 53,71% (yoy) dan 12,18% secara bulanan (month-to-month/mtm).

Berdasarkan peranannya terhadap total impor nonmigas Januari-April 2025, kontribusi tertinggi masih didominasi China sebesar 39,48% dengan nilai mencapai sebesar US$25,77 miliar.

Itu juga membuat neraca perdagangan Indonesia dengan Negeri Panda mengalami defisit mencapai US$6,28 miliar pada Januari-April 2025, sekaligus menjadi negara penyumbang defisit terdalam.

Realisasi defisit neraca perdagangan total dengan China bahkan melonjak 107,95% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Januari-April 2025 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

"Negara penyumbang defisit terdalam adalah yang pertama China, yakni US$6,28 miliar," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers, dikutip Selasa (3/6/2025).

(ain)

No more pages