Bloomberg Technoz, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah tidak akan tunduk pada desakan asing untuk menjegal upaya hilirisasi di Indonesia, khususnya bagi komoditas nikel.
Bahlil memproyeksikan potensi investasi dari hilirisasi nikel pada 2030 mencapai US$47,36 miliar dengan serapan tenaga kerja diprediksi menembus 180.600 orang.
Adapun, kontribusi hilirisasi nikel terhadap produk domestik bruto (PDB) per tahun ditaksir mencapai US$15,82 miliar per tahun pada 2030, dengan peningkatan ekspor senilai US$34,10 miliar.
Akan tetapi, Bahlil mengakui sampai saat ini banyak negara di dunia yang berupaya untuk menghambat upaya hilirisasi nikel melalui berbagai kampanye hitam seperti doktrin bahwa Indonesia memproduksi ‘dirty nickel’ atau nikel kotor.
“Sejengkal pun saya tidak akan mundur dari tekanan-tekanan asing untuk melanjutkan apa yang menjadi program hilirisasi,” ujarnya di sela agenda Human Capital Summit 2025, Selasa (3/6/2025).

Bahlil mengatakan saat ini Indonesia mendominasi 43% total cadangan nikel di dunia. Sejak larangan ekspor bijih diberlakukan pada 2020, lanjutnya, nilai ekspor nikel Indonesia naik dari US$3,3 miliar pada 2017—2018 menjadi US$34 miliar pada 2023.
“Dan hari ini kita salah satu negara terbesar eksportir turunan hilirisasi nikel. Banyak yang protes, katanya nikel Indonesia kotor. Mana ada nikel yang seperti tidur di kasur empuk? Nikel pasti ada tanahnya lah. Macam-macam [isu] dibuat karena kita sudah mulai menuju satu roadmap [hilirisasi] yang jelas,” ujarnya.
Bahlil tidak menampik masih banyak kekurangan dalam program hilirisasi nikel di Indonesia. Namun, lanjutnya, pemerintah berkomitmen untuk terus melakukan pembenahan agar serapan tenaga kerja dan aspek keberlanjutan dapat makin dioptimalkan di industri ini.
Saat ini, dia mengatakan fokus pemerintah adalah melanjutkan hilirisasi nikel ke arah ekosistem baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
Pada Juni atau bulan ini, Bahlil mengatakan Indonesia akan melakukan peletakan batu pertama atau groundbreaking proyek ekosistem baterai EV terintegrasi dari hulu ke hilir pertama di dunia.
Ekosistem tersebut mencakup lini tambang, smelter hidrometalurgi atau high pressure acid leach (HPAL), pabrik prekursor, katoda, hingga sel baterai.
Dalam perkembangannya, dia tidak menampik masih ada beberapa negara Barat yang ingin mempersulit upaya tersebut.
“Beberapa negara Eropa minta agar [pabrik] sel baterainya harus dibangun di dekat pabrik mobil. Saya bilang, ‘Kalau begitu silakan kalian bangun battery cell, tetapi prekursor katoda di negara kami, tetap di kami, nanti kami kirim ke kalian.’ Ini supaya win-win, bukan 70:30, di sana enak di sini menderita. Supaya fair," ujarnya.

Kampanye hitam terhadap nikel Indonesia makin kencang berembus terutama sejak London Metal Exchange (LME) dibanjiri desakan oleh banyak perusahaan tambang Barat agar membedakan klasifikasi antara 'nikel hijau' atau green nickel dan nikel biasa dalam perdagangan komoditas logamnya.
Penambang-penambang global menilai nikel murah yang diproduksi di Indonesia telah merusak harga pasar nikel premium, yang diproduksi dengan ongkos lebih mahal lantaran menggunakan sistem dan teknologi ramah lingkungan.
Namun, LME sebagai pengelola pasar logam barometer dunia justru memberi sinyal bahwa pasar 'nikel hijau' atau disebut juga 'nikel premium' atau green nickel masih belum sanggup menyaingi produksi logam sejenis dari China atau Indonesia.
Dalam catatan atau notice yang diterbitkan pada Maret tahun lalu, LME menegaskan pasar ‘nikel hijau’ saat ini masih terlalu kecil untuk bisa menggaransi kontrak berjangka mereka sendiri.
“LME yakin pasar ‘nikel hijau’ belum cukup besar untuk mendukung semangat memperdagangkan kontrak berjangka hijau khusus. Pelaku pasar telah menyatakan kekhawatirannya akan hal itu dan masih terdapat perdebatan pasar yang signifikan mengenai bagaimana mendefinisikan ‘hijau’,” papar bursa logam barometer dunia itu.
Standar ESG
Guna mengantisipasi gempuran kampanye hitam terhadap nikel tersebut, pelaku industri nikel di Tanah Air tengah menyusun format standarisasi aspek ESG sektor pertambangan di dalam negeri, agar komoditas andalan Indonesia itu tidak tergilas oleh kampanye ‘dirty nickel’.
Ketua Badan Kejuruan (BK) Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Rizal Kasli menjelaskan selama ini standar ESG di industri tambang yang bisa diterima oleh pasar internasional adalah Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA).
Hanya saja, dia tidak menampik, persyaratan dalam standar IRMA masih memberatkan bagi pelaku industri pertambangan nikel di Tanah Air.
Untuk itu, Rizal menyebut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) tengah menggodok standar yang bisa diberlakukan di Indonesia.
Standar ESG yang tengah disusun tersebut tetap akan menyelaraskan dengan kriteria yang berlaku di pasar internasional, tetapi dengan tidak memberatkan pelaku industri di dalam negeri.
“Tahap awalnya adalah bagaimana perusahaan-perusahaan kita itu bisa mengaplikasikan ESG dahulu. Kalau semua sudah standar dengan perlindungan, nanti baru standarnya dinaikkan bertahap. Jangan langsung ikut IRMA, enggak kuat,” kata Rizal di sela acara ESG Forum 2025.
Standardisasi ESG yang sedang disusun tersebut terutama akan diterapkan untuk pertambangan nikel, sebelum diperluas ke sektor lain seperti batu bara.
“Nanti kita akan berikan masukan ini kepada pemerintah, sehingga itu bisa dibuat semacam [rujukan]. Nanti akan kita kasih [ke Kementerian ESDM],” ujarnya.
(wdh)