Melihat lebih jauh perincian kinerja impor, terlihat bahwa peningkatan impor terjadi di semua kategori. Impor barang konsumsi pada April lalu melambung hingga naik 18,46% yoy, berbalik dari kontraksi pada Maret sebesar -5,81%.
Begitupun impor barang perantara juga naik tajam dari 2,05% di bulan Maret menjadi 18,93% pada April. Impor barang modal juga naik tajam hingga 36,28% dari bulan sebelumnya tumbuh 28,98%.
"Peningkatan ini tak biasa karena terjadi ketika manufaktur Indonesia tengah mengalami kontraksi seperti tecermin dari angka PMI [Purchasing Manager's Index] bulan April di level 46,7," kata tim analis Mega Capital Sekuritas di antaranya Lionel Priyadi dan Muhammad Haikal dalam sebuah catatan.
Lonjakan impor terutama datang dari Tiongkok dengan kenaikan hingga 53,71% yoy. Menurut analis, peningkatan itu memang menimbulkan kekhawatiran pada neraca perdagangan RI dan Tiongkok.
Namun, "Kami memandang, peningkatan itu diperlukan untuk mendukung penetrasi ekspor Indonesia ke AS serta negara-negara ASEAN lainnya. Bagaimanapun, kemampuan ekspor RI terkait erat dengan keterkatan rantai pasok dengan Tiongkok," kata Lionel.
Fakta itu memunculkan kemungkinan bahwa lonjakan impor yang tiba-tiba itu didorong oleh urgensi mempercepat realokasi ekspor dari China setelah pengumuman tarif AS pada awal April.
Penting untuk melihat apakah lonjakan impor itu hanya fenomena satu kali atau tidak. Jika hanya satu kali, ada kemungkinan besar surplus dagang RI akan pulih dalam beberapa bulan. Hal itu bisa memberi dukungan stabilitas rupiah di kisaran Rp16.100-Rp16.500/US$.
Sebaliknya, bila tren lonjakan impor itu berlanjut, analis melihat ada skenario pelebaran defisit transaksi berjalan untuk tahun fiskal 2025 menjadi lebih dari 1% dari Produk Domestik Bruto. "Hal itu bisa menimbulkan tekanan depresiasi kuat terhadap rupiah hingga kisaran Rp16.500-Rp16.900/US$ atau lebih tinggi," kata Lionel.

Data kinerja dagang April Indonesia itu memicu arus keluar modal asing dari pasar saham kemarin, hingga menembus angka Rp2,8 triliun, selain dipengaruhi juga oleh sentimen pasar global.
Rupiah yang dibuka melemah, berhasil ditutup menguat selain karena dukungan sentimen eksternal yakni kemerosotan nilai dolar, juga karena intervensi Bank Indonesia.
"BI memutuskan intervensi sehingga rupiah mencatat penguatan 0,26% di level Rp16.248/US$ di pasar spot. Kami perkirakan hasil ini [kinerja dagang] akan melemahkan nilai permintaan pasar dalam lelang Surat Utang Negara hari ini menjadi di kisaran Rp65 triliun hingga Rp75 triliun dari lelang sebelumnya sebesar Rp108,33 triliun," kata analis.
Senada, Ekonom dari Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga menilai, ada tren frontloading di balik lonjakan impor Indonesia pada April lalu. "Importir melakukan frontloading memanfaatkan proses jeda tarif Trump, jadi impor bahan baku dan barang modal masing-masing melonjak 11% dan 5% month-to-month (mtm)," katanya.
Sementara itu impor barang konsumsi turun -2,21% mtm mencerminkan adanya kelesuan daya beli, selain karena faktor seasonal paska lebaran.
Komoditas lesu
Paparan data kinerja perdagangan RI pada April juga memberikan sinyal akan kelesuan ekspor komoditas andalan Indonesia seperti batu bara, nikel juga minyak kelapa sawit dan mineral lain.
Tekanan pada ekspor batu bara dengan penurunan 6% month-to-month, dipicu oleh penurunan permintaan dari China dan India. Peralihan energi terbarukan di negara tujuan ekspor ikut memperburuk outlook ekspor batubara Indonesia, menurut ekonom.
"Ini peringatan bagi perusahaan tambang agar segera lakukan diversifikasi bisnis diluar dari batubara," kata Bhima.
Kinerja sektor industri pengolahan juga mulai terdampak penurunan permintaan global sehingga ekspor lini ini turun 12,1% dibanding bulan Maret.
(rui)