Sementara, EOR adalah metode yang diaplikasikan untuk meningkatkan (recovery) produksi hidrokarbon dari reservoir minyak apabila metode primer dan sekunder tidak lagi efisien untuk menguras minyak.
Metode ini dilakukan dengan menginjeksikan suatu zat yang berasal dari luar reservoir, seperti energi mekanis, energi kimia, atau energi termal.
Selain cara atau metode di atas, lanjut Tutuka, hanya akan menghasilkan penghambatan penurunan produksi dari waktu ke waktu.
Hal ini terjadi karena sebagian besar lapangan di Indonesia sudah tua (mature fields), yang ditunjukkan dengan tingginya faktor perolehan (recovery factor) rata-rata nasional yaitu sekitar 33% terhadap isi awal minyak di tempat atau original oil in place.
Sekadar catatan, faktor perolehan adalah perbandingan jumlah minyak atau gas yang dapat diambil terhadap jumlah minyak atau gas di tempat (in place) dengan menggunakan teknologi pemulihan primer, sekunder, maupun tersier.
Lifting Maksimal
Dihubungi secara terpisah, pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan secara teknis memang kisaran 600.000 barel per hari (bph) merupakan realisasi lifting minyak maksimal yang bisa dicapai Indonesia.
Untuk bisa naik misalnya pada kisaran 700 ribu bph, Indonesia setidaknya memerlukan 5—6 proyek baru sebesar lapangan Terubuk dan Forel garapan Medco yang baru saja diresmikan produksinya.
Hal itu pun bisa dicapai dengan catatan bahwa penurunan produksi dari lapangan yang saat ini ada bisa ditahan, decline nya bisa ditahan.
"Sekarang kita belum punya kandidat proyek baru sekelas itu atau lebih besar yang siap untuk onstream. Strategi reaktivasi idle well, jika pun berhasil, kisaran tambahan produksinya tidak bisa terlalu besar; bisa 5.000—10.000 bph saja sudah sangat bagus," ujarnya.
Praktisi senior industri migas Hadi Ismoyo menilai lifting minyak sulit untuk mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, meski realisasinya per kuartal I-2025 sudah mendekati.
Hadi mengamini Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sedang gencar untuk mobilisasi rencana pengembangan atau plan of development (PoD) baru dan mengincar sumur tua (marginal field) untuk mengurangi tingkat penurunan yang cukup besar.
“Namun, kapasitas produksinya belum mampu mengimbangi besarnya penurunan secara natural dari lapangan-lapangan migas kita. Perhitungan saya lifting migas aktual sulit mencapai target APBN,” ujar Hadi, , yang juga Direktur Utama PT Petrogas Jatim Utama Cendana (PJUC).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi lifting minyak per Maret 2025 mencapai 573.900 bph atau mencapai 94,85% dari target yang ditetapkan pemerintah di APBN 2025 sebanyak 605.000 bph.
Angka tersebut tergolong tinggi, sebab bila dibandingkan dengan realisasi keseluruhan tahun pada 2024, capaian lifting minyak pada 2024 hanya mencapai 579.700 bph. Sementara itu, per Maret 2025, lifting minyak mencapai 94,85% dari target.
(dov/wdh)
































