Logo Bloomberg Technoz

Wacana pelarangan ekspor mineral bijih menyeruak pada 6 Februari 2025, saat pemimpin Senat Filipina mengatakan Kongres berpotensi meratifikasi rancangan undang-undang (RUU) larangan ore paling cepat pada Juni tahun ini. 

Blok feronikel yang diproduksi di fasilitas pengolahan nikel yang dioperasikan oleh Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara./Bloomberg-Dimas Ardian

Kongres Filipina reses setelah pekan pertama Februari dan sesi akan dilanjutkan pada Juni, tetapi Presiden Senat Francis Escudero saat itu berharap akan ada pertemuan komite bikameral dengan anggota dari Senat dan DPR untuk membahas RUU tersebut.

"Saya berharap itu akan dilakukan selama masa jeda sehingga kami dapat meratifikasinya ketika sesi dilanjutkan," kata Escudero dalam sebuah pengarahan.

RUU tersebut bertujuan untuk melarang ekspor bijih mentah dalam upaya Filipina meningkatkan industri pertambangan hilir.

Adapun, jika RUU disetujui, pemberlakuan larangan ekspor bijih mineral kemungkinan akan lima tahun setelah undang-undang ditandatangani, guna memberi waktu kepada para penambang untuk membangun pabrik pemrosesan.

"Jika ini dilakukan, saya yakin ini akan menjadi game changer bagi negara kita jika kita akhirnya akan memiliki pemrosesan di sini," kata Escudero, yang menulis RUU yang disahkan Senat pada pembacaan ketiga dan terakhir pada Senin.

Bukan kali pertama Filipina berupaya melarang ekspor mineral bijih. Pada 2014 dan 2016, Kongres pernah menyuarakan wacana tersebut, tetapi gagal karena minimnya dukungan.

Tiru Indonesia

Filipina adalah pemasok bijih nikel terbesar kedua di dunia dengan sebagian besar pengirimannya ditujukan ke pasar utama China.

Produsen nikel terbesar di dunia./dok. Bloomberg

Pemerintah Filipina telah mendorong para penambang untuk berinvestasi dalam fasilitas pemrosesan alih-alih hanya mengirimkan bijih mentah, dengan harapan dapat meniru keberhasilan pemasok nikel No. 1 dunia, Indonesia, dalam meningkatkan pendapatan pertambangan.

Larangan ekspor bijih logam Indonesia pada 2020 meningkatkan nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam dua tahun karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di sana.

Filipina dapat mengikuti jejak Indonesia, menurut Escudero, sebuah contoh negara kaya sumber daya yang mendorong nilai lebih dari mineralnya.

"Dari segi mineral, Filipina adalah negara kaya yang berpura-pura miskin," kata senator tersebut. Kurang dari 3% dari 9 juta hektare [22 juta hektare] lahan yang diidentifikasi oleh pemerintah sebagai lahan dengan cadangan mineral tinggi saat ini sedang ditambang.

Kamar Pertambangan Filipina dan Asosiasi Industri Nikel Filipina mengatakan larangan ekspor yang diusulkan “akan menyebabkan penutupan tambang” yang akan “mengurangi pendapatan pemerintah dan kegiatan ekonomi di masyarakat pertambangan.”

“Usulan tersebut akan menyebabkan gangguan besar pada rantai pasokan yang ada; banyak perusahaan pertambangan memiliki kontrak jangka panjang dan rantai pasokan yang mapan dengan pembeli internasional,” kata mereka dalam sebuah pernyataan.

Di sisi lain, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai alasan Filipina ingin melarang ekspor mineral bijih atau ore mulai Juni 2025, mengikuti jejak yang sudah dirintis Indonesia dengan melarang ekspor nikel mentah sejak sejak 2020.

Anggota Dewan Penasihat Pertambangan APNI Djoko Widajatno menyebut Filipina ingin meningkatkan pendapatan negara dengan mendorong pengolahan di dalam negeri, mencontoh resep Indonesia.

“Filipina mempunyai kesiapan SDM dalam menyerap teknologi, karena penguasaan bahasa dan operasi matematika dan pengetahuan alam sudah baik, dilihat dari peringkat universitasnya,” katanya saat dihubungi.

Tak hanya itu, Djoko menyebut alasan Negeri Lumbung Padi itu ingin melarang ekspor ore yakni untuk menambah nilai ekonomi dalam negeri karena mereka merupakan salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia.

Namun, sebagian besar nikel yang diproduksi dan diekspor Filipina masih dalam bentuk bahan mentah atau bukan produk olahan. Walhasil, usulan larangan ekspor ini bertujuan untuk mendorong pengolahan nikel lebih lanjut di dalam negeri agar Filipina bisa mendapatkan lebih banyak nilai tambah dari komoditas tersebut.

Selain itu, larangan ekspor bijih nikel Filipina bertujuan untuk meningkatkan industri lokal.

Dengan melarang ekspor nikel mentah, kata Djoko, Filipina berharap dapat mengembangkan industri pengolahan dan manufaktur, yang akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan memperkuat sektor industri negara tersebut.

Djoko menambahkan alasan lainnya adalah untuk memastikan cadangan sumber daya mineral digunakan secara lebih efisien untuk mendukung pembangunan industri domestik.

“Khususnya dalam hal kebutuhan logam untuk sektor teknologi, energi terbarukan, dan kendaraan listrik yang membutuhkan nikel,” tutur Djoko.

Nikel dinilai makin penting dalam produksi baterai untuk kendaraan listrik dan produk teknologi lainnya dan permintaannya terus meningkat. Kondisi ini membuat Filipina ingin memanfaatkan tren global dengan mengolah nikel di dalam negeri dan memperoleh keuntungan lebih besar dari pasar internasional.

Pergerakan harga nikel./dok. Bloomberg

ESDM Mencermati

Sehari setelah pengarahan kongres pada 6 Februari tersebut, Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno mengatakan pemerintah tengah mencermati dampak rencana Filipina melarang ekspor mineral bijih.

“Kalau dampak, kita memang ada impor untuk yang nikel dari Filipina. Akan tetapi, kalau misalnya nanti Filipina melarang ekspornya betul, ya kita exercise lah seperti apa pasnya di kita,” kata Tri saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (7/2/2025).

Tri menyebut jika larangan itu terjadi, bukan hanya permintaan dan penawaran bijih nikel Indonesia saja yang akan terdampak, tetapi kondisi lain yang tidak terduga bisa terjadi imbas pernyataan terbaru Kongres Filipina tersebut.

“Nah itu kan balik lagi tadi, tidak hanya supply-demand [yang terpengaruh], tetapi kondisi-kondisi lain juga bisa memengaruhi,” ungkap Tri.

Pengusaha Siaga

Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah menyatakan pengusaha saat ini terus memantau perkembangan wacana Filipina tersebut, serta terus mempelajari dampaknya terhadap permintaan dan penawaran nikel di tingkat global berikut pengaruhnya pada pergerakan harga nikel dan lainnya.

“FINI saat ini terus memantau isu tersebut dan masih mempelajari detil dampak dari kebijakan Pemerintah Filipina. Tentunya perlu diantisipasi oleh pihak Pemerintah Indonesia dan pelaku industri nikel,” kata Arif saat dihubungi, Rabu (7/5/2025).

Arif menuturkan hingga saat ini pengusaha nikel di Tanah Air belum mendapatkan informasi detail terkait dengan pernyataan resmi dari Pemerintah Filipina soal wacana tersebut. Selama ini, FINI hanya mengetahui dari pemberitaan sejumlah media.

Akan tetapi, dia memahami langkah ini diambil Pemerintah Filipina sebagai upaya untuk meningkatkan industri hilir nikel, termasuk mendorong penambang untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.

“Kami, FINI melalui informasi dan pemberitaan mengetahui dan memahami bahwa Pemerintah Filipina saat ini tengah menggodok Rancangan Undang-undang [RUU] yang melarang ekspor mineral mentah, termasuk nikel yang ditargetkan dapat berlaku mulai Juni 2025,” ujarnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor bijih nikel dan konsentrat (ore nickel and concentrates) dengan kode HS 26040000 dari Filipina pada Februari 2025 sebanyak 2,38 juta ton. Angka ini naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebanyak 2,07 juta ton.

Selain itu, menurut International Energy Agency (IEA), tiga produsen nikel terbesar pada 2030 dari sisi pertambangan a.l. Indonesia (62%), Filipina (8%), dan New Caledonia (6%). Sementara itu, dari sisi pemurnian atau smelter a.l. Indonesia (44%), China (21%) dan Jepang (6%).

Efek ke Smelter RI

Djoko Widajatno dari APNI juga berpendapat wacana Filipina untuk melarang ekspor mineral bijih berisiko membawa dampak signifikan terhadap industri pengolahan atau smelter nikel di Tanah Air.

Meskipun Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, beberapa smelter di dalam negeri masih bergantung pada impor bijih nikel dari Filipina untuk memenuhi kebutuhan bahan baku.

Menurutnya, impor dari Filipina terutama dilakukan terhadap bijih nikel berkadar tinggi atau saprolite yang pasokannya mulai terkikis di Indonesia. Saprolite digunakan untuk smelter pirometalurgi, yang jumlahnya dominan di sentra-sentra hilirisasi nikel.

Djoko membeberkan sederet dampak yang akan terjadi pada smelter di Indonesia yakni;  pertama, gangguan pasokan bahan baku karena pada 2024 Indonesia mengimpor sekitar 10 juta ton bijih nikel dari Filipina, sebagian besar digunakan oleh smelter di kawasan industri seperti Morowali dan Weda Bay .

“Larangan ekspor ini dapat menyebabkan kekurangan pasokan bahan baku bagi smelter yang bergantung pada impor tersebut,” kata Djoko saat dihubungi, Kamis (8/5/2025).

Kedua, larangan ekspor dari Filipina juga dikhawatirkan akan memperketat pasokan bijih nikel di pasar global dan mendorong kenaikan harga nikel.

Kondisi ini bisa menguntungkan produsen nikel domestik dalam jangka pendek, tetapi meningkatkan biaya operasional bagi smelter yang sangat bergantung pada bahan baku tersebut.

Ketiga, dengan berkurangnya pasokan dari Filipina, Indonesia memiliki peluang untuk menarik lebih banyak investasi di sektor hilirisasi nikel.

Namun, dia menekankan pentingnya dukungan pemerintah agar potensi tersebut dapat dilakukan dengan maksimal.

“Hal ini memerlukan dukungan pemerintah dalam bentuk kepastian hukum, kemudahan perizinan, dan insentif,” tuturnya.

Antisipasi Domestik

Dalam mengatasi potensi kekurangan pasokan, menurutnya, Indonesia perlu meningkatkan produksi bijih nikel domestik.

Namun, hal ini menghadapi tantangan seperti keterlambatan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang dapat menghambat peningkatan produksi dalam negeri.

Untuk itu, Djoko menyebut langkah antisipasi yang diperlukan yakni mengevaluasi dan mempercepat persetujuan RKAB untuk memastikan bahwa perusahaan tambang mendapatkan persetujuan RKAB tepat waktu agar dapat meningkatkan produksi bijih nikel domestik.

Selain itu, Indonesia dinilai perlu mencari alternatif sumber impor bijih nikel dari negara lain untuk mengurangi ketergantungan pada Filipina.

Kemudian, pengusaha juga disarankan mengoptimalkan operasi smelter untuk mengurangi kebutuhan bijih nikel berkadar tinggi dan memanfaatkan bijih nikel berkadar rendah yang lebih tersedia di dalam negeri.

Djoko juga menuturkan, pengembangan teknologi pengolahan dibutuhkan seperti investasi dalam teknologi pengolahan bijih nikel berkadar rendah untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada bijih nikel berkadar tinggi.

“Dengan langkah-langkah antisipatif yang tepat, Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dari larangan ekspor bijih nikel oleh Filipina dan bahkan memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat industri nikel nasional,” ucapnya.

Kementerian ESDM sendiri awal tahun ini memaparkan pemerintah menargetkan produksi nikel 2025 sebanyak 220 juta ton, di bawah RKAB pertambangan nikel yang diizinkan sebanyak 240 juta ton bijih pada 2024.

Sementara itu, smelter nikel yang beroperasi saat ini sebanyak 49 rotary kiln-electric furnace (RKEF) dan 5 high pressure acid leach (HPAL) dengan kebutuhan 290 juta ton bijih nikel.

(wdh)

No more pages