Raihan laba itu ditopang oleh volume produksi yang meningkatkan dari aset di Permian dan Guyana, di tengah tekanan tipisnya margin penyulingan dan melemahnya harga minyak mentah sejak akhir 2024.
“Kami menghasilkan arus kas dari operasi sebesar US$13 miliar. Sejak 2019, keputusan kami untuk efisiensi biaya, peningkatan volume hingga optimalisasi operasi telah memperkuat kapasitas laba kuartalan sekitar US$4 miliar pada tingkat harga dan margin saat ini,” kata Woods.
Sepanjang April, harga minyak terjerembap lebih dari 16% pascapengumuman tarif timbal balik pada 2 April oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Bulan lalu juga menandakan perubahan harga minyak yang besar, dengan kontrak awal bergerak di rentang US$62,8/barel—US$75/barel pada penutupan pasar.
Tekanan Chevron
Tekanan harga minyak itu turut mengoreksi raihan laba Chevron Corporation. Sepanjang kuartal I-2025, laba bersih Chevron merosot lebih dari 30% menjadi US$3,5 miliar atau US$2 per saham, dari US$5,5 miliar atau US$2,97 per saham pada periode yang sama tahun lalu.
Chevron melaporkan koreksi laba itu disebabkan karena penurunan pendapatan dari sisi bisnis hulu dan hilir, margin yang lebih rendah pada penjualan produk olahan, fluktuasi negatif pada pos pajak dan dampak dari nilai tukar, serta realisasi harga yang lebih rendah.
Di sisi lain, Chevron mencatatkan produksi pada aset internasional mereka relatif stabil dibandingkan dengan tahun lalu, setelah melepas sejumlah aset mereka.
“Terlepas dari kondisi pasar yang terus berubah, portofolio kami yang tangguh, neraca yang kuat, serta fokus konsisten pada disiplin belanja modal menempatkan kami dalam posisi yang solid untuk mencetak pertumbuhan pada 2026,” kata CEO Chevron Mike Wirth lewat siaran pers, Selasa (6/5/2025).
Sementara itu, raksasa migas Inggris BP Plc mencatatkan laba US$1,38 miliar sepanjang kuartal I-2025, anjlok 49,26% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya di level US$2,7 miliar.
Koreksi cukup dalam pada posisi laba BP itu disebabkan karena lemahnya pemasaran dan perdagangan gas, yang diikuti dengan penurunan produksi akibat langkah divestasi aset sebelumnya.
CEO BP Murray Auchincloss menerangkan koreksi terhadap laba yang terbilang lebar ini menjadi bagian dari upaya penyesuaian bisnis yang belakangan dikerjakan perusahaan. Murray menegaskan perseroannya bakal tetap bertumbuh pada jangka panjang.
“Kami telah memulai operasional tiga proyek besar, melakukan enam penemuan eksplorasi, serta melanjutkan program divestasi, sambil mempertahankan kinerja operasional yang solid,” kata Murray lewat siaran pers, dikutip Selasa (6/5/2025).
Di sisi lain, BP menganggarkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sekitar US$14,5 miliar pada tahun ini. Selain itu, BP memperkirakan kas segar hasil divestasi sekitar US$3 miliar sampai US$4 miliar untuk tahun ini.
“Kami terus memantau volatilitas dan dinamika pasar, dan tetap fokus untuk bergerak cepat,” tuturnya.
Agresivitas Shell
Tekanan harga minyak ikut mengoreksi laba Shell Plc ke level US$5,58 miliar sepanjang kuartal I-2025, susut 28% dari laba periode yang sama tahun sebelumnya di angka US$7,73 miliar.
Kendati tekanan signifikan pada posisi laba itu, Shell mengalokasikan belanja modal relatif agresif tahun ini mencapai US$20 miliar sampai dengan US$22 miliar.
“Kita terus memperkuat bisnis LNG dengan menyelesaikan akuisisi Pavilion Energy, dan aset lepas pantai di Nigeria,” kata CEO Shell plc Wael Sawan lewat siaran pers, dikutip Selasa (6/5/2025).
Sementara itu, laba raksasa migas Prancis TotalEnergies terkoreksi 18% ke level US$4,2 miliar, dari posisi laba tahun sebelumnya di angka US$5,1 miliar.
Koreksi laba itu telah ditopang kenaikan produksi minyak dari sejumlah proyek TotalEnergies di Brasil, Amerika Serikat, Malaysia, Argentina dan Denmark.
Segmen Eksplorasi & Produksi membukukan laba operasi disesuaikan sebesar US$2,5 miliar dan arus kas sebesar US$4,3 miliar, masing-masing meningkat 6% dan 9% dibandingkan kuartal sebelumnya.
Arus kas turut didorong oleh kontribusi produksi minyak baru yang berbiaya rendah dan beremisi rendah.
“Proyek offshore Ballymore di Amerika Serikat yang akan beroperasi pada kuartal II, serta proyek Mero-4 di Brasil yang ditargetkan pada kuartal III, akan menambah produksi barel bernilai tinggi dan memperkuat produksi hidrokarbon 2025 yang ditetapkan di atas 3%,” kata CEO TotalEnergies Patrick Pouyanné lewat siaran pers dikutip Selasa (6/5/2025).
Segmen LNG Terintegrasi mencatatkan laba operasi disesuaikan sebesar US$1,3 miliar dan arus kas US$1,2 miliar pada kuartal ini. Kinerja bisnis gas alam cair itu didukung oleh harga LNG yang lebih tinggi dibandingkan tahun lalu meski lebih rendah dari kuartal IV-2024.
“Hasil perdagangan LNG sesuai ekspektasi 2025, sementara perdagangan gas tertekan akibat pelemahan pasar Eropa di tengah ketidakpastian baru terkait perkembangan konflik Rusia-Ukraina,” kata Pouyanné.
(naw/wdh)































