Sejak awal tahun, akumulasi net sell investor asing bahkan mencapai Rp50,61 triliun di seluruh pasar.
Selain menyambangi langsung investor global di Hong Kong, BEI sebelumnya juga sempat menyurati MSCI, selaku penyedia indeks yang turut menjadi salah satu acuan investor asing.
BEI keberatan dengan pertimbangan MSCI untuk metode rebalancing konstituen. MSCI berencana tidak memasukkan saham di BEI ke dalam indeks, jika saham tersebut mengalami unusual market activity (UMA) atau masuk dalam papan pemantauan full call auction (FCA Kriteria 10).
Jeffrey keberatan jika saham yang pernah masuk UMA atau FCA Kriteria 10 menjadi dasar MSCI menganulir saham tersebut masuk dalam indeks. Pasalnnya, UMA bukan merupakan bentuk hukuman atau penalti kepada perusahaan tercatat.
FCA Kriteria 10 dibuat juga untuk meredam volatilitas harga saham. Sehingga, ini bukan berarti ada masalah fundamental dari emiten yang bersangkutan.
"Meredam volatilitas hanya tujuh hari, tapi diperhitungkan untuk periode 12 bulan. Menurut kami, ini tidak pas time horizon-nya (jangka waktu investasi), meski kami juga menghormati independensi dan kewenangan seluruh indeks provider," jelas Jeffrey.
Jeffrey juga berharap, penerapan kebijakan MSCI seharusnya tidak diskriminatif dan lebih universal. Sebab, UMA tidak hanya berlaku di BEI, tapi juga sejumlah bursa saham negara lain.
"Jadi, kalau indeks provider mau melakukan itu, hendaknya berlaku universal," pungkas Jeffrey.
MSCI membuka kesempatan untuk semua pihak guna memberikan masukan atas tinjauan indeks periode Mei 2025. Masukan bakal diterima hingga 20 Juni 2025, dengan pengumuman keputusan final pada 11 Juli 2025.
BEI memanfaatkan kesempatan itu untuk meyampaikan sejumlah poin keberatannya. Namun, belum ada balasan dari MSCI sampai saat ini.
(dhf)






























