Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah menguat tipis di pasar spot pada Jumat pagi ini di tengah perkembangan nan dinamis di pasar global menyusul sinyal terbaru dari Tiongkok akan potensi pembicaraan dengan Amerika Serikat (AS) untuk negosiasi perdagangan.
Rupiah spot dibuka menguat 0,01% di Rp16.600/US$ dan selanjutnya bergerak di Rp16.585/US$ ketika indeks saham domestik juga melanjutkan reli pasca libur Hari Buruh dengan dibuka naik 0,65% di level 6.811.
Rupiah berhasil berkelit dari kebangkitan dolar AS setelah para traders memangkas ekspektasi penurunan bunga acuan The Fed, bank sentral AS, menyusul data manufaktur negeri itu yang tidak seburuk dugaan awal.
Di pasar Asia pagi ini, mayoritas mata uang yang sebelumnya bergerak melemah karena sentimen bunga The Fed, berbalik arah menguat karena optimisme pembicaraan Tiongkok dan AS.
Dolar Taiwan memimping penguatan dengan melompat hingga 1,05%, yuan offshore menguat 0,31%, dolar Singapura 0,23%, rupiah 0,07%, peso 0,04%, ringgit 0,02%, yen 0,01%.
Adapun won melemah 0,66% tergerus krisis politik dalam negeri, bersama baht yang juga tertekan 0,23% terhadap dolar AS. Indeks dolar AS masih bergerak di atas 100 pagi ini.

Secara teknikal, rupiah berpotensi menembus resistance terdekat pada level Rp16.550/US$. Sementara resistance potensial selanjutnya menuju Rp16.500/US$ usai break trendline sebelumnya. Terdapat level Rp16.380/US$ sebagai level paling optimis penguatan rupiah di dalam time frame daily, tren jangka menengah (Mid-term) perdagangan.
Selanjutnya nilai rupiah memiliki level support terdekat pada level Rp16.700/US$.
Apabila level ini berhasil tembus, maka mengkonfirmasi laju support selanjutnya pada level Rp16.770/US$ sebagai support psikologis, juga Rp16.800/US$ dalam sepekan.
Sentimen manufaktur
Aktivitas manufaktur Indonesia melemah pada April. Dari zona ekspansi, aktivitas manufaktur Tanah Air merosot ke zona kontraksi.
Pada Jumat (2/5/2025), S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di Indonesia sebesar 46,7 untuk periode April. Melorot signifikan ketimbang Maret yang mencapai 52,4.
PMI di bawah 50 mengindikasikan aktivitas yang berada di fase kontraksi, bukan ekspansi. Aktivitas manufaktur Ibu Pertiwi mengalami kontraksi untuk kali pertama dalam 5 bulan terakhir.
“Terjadi kontraksi di sektor manufaktur Indonesia pada April, dengan penurunan tajam baik di sisi produksi maupun volume pemesanan baru (new orders). Merespons pelemahan ini, pelaku usaha mengurangi pembelian bahan baku dan tenaga kerja,” ungkap keterangan S&P Global.
Penurunan indeks PMI itu menjadi yang paling tajam sejak Agustus 2021.
S&P menilai dalam jangka pendek, outlook masih mendung karena pelaku usaha memilih untuk mempertahankan kapasitas yang ada, menunjukkan tidak ada ekspansi untuk bulan-bulan ke depan.
“Akan tetapi, outlook untuk tahun ini masih positif. Pelaku usaha masih memperkirakan terjadi kenaikan produksi seiring perbaikan kondisi ekonomi dan daya beli. Namun, kapan waktu pemulihan itu terjadi agak memudar,” kata Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence.
Hari ini di dalam negeri, para pelaku pasar domestik juga akan mencermati rilis data inflasi April oleh Badan Pusat Statistik, yang dilangsungkan tepat saat bursa modal mulai dibuka.
Hasil konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg sampai pagi ini, memperkirakan pada April terjadi inflasi 1,02% month-on-month di Indonesia, melandai setelah musim Lebaran berlalu yang mencatat inflasi Maret 1,65%.
Sedangkan dibanding April tahun lalu, inflasi diperkirakan sebesar 1,5%, lebih tinggi ketimbang Maret di angka 1,03%. Inflasi inti diperkirakan sebesar 2,5%, naik dibanding bulan sebelumnya 2,48%.
(rui)