Adapun, penanganan sumur minyak ilegal diatur pada poin kedua, yakni kerja sama produksi sumur minyak BUMD atau kooperasi.
"Nantinya kegiatan sumur masyarakat [ilegal] akan dipayungi di bawah BUMD atau kooperasi, yang selanjutnya akan melakukan kemitraan dengan KKKS sehingga tetap di bawah naungan kontrak kerja sama migas dan masih sesuai dengan Undang-Undang Migas," kata Tri dikutip Selasa (29/4/2025).
Tri menjelaskan khusus kerja sama dengan BUMD atau Koperasi, agar lepas dari illegal drilling, pemerintah akan memberikan kesempatan produksi selama empat tahun. Dengan catatan, tidak ada penambahan sumur baru.
"Dalam empat tahun dilakukan upaya perbaikan atau pembinaan agar sesuai dengan good engineering practices," ujarnya.
Namun, jika dalam waktu empat tahun atau waktu yang ditentukan tidak ada perbaikan atau ada penambahan sumur baru, maka sumur akan diserahkan kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) ESDM.
"Perlu inventarisasi sumur minyak masyarakat yang boleh dilakukan kerja sama produksi sumur minyak BUMD atau koperasi," tuturnya.
Tri menegaskan saat ini regulasi terkait sumur minyak masyarakat telah berada pada tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM untuk memastikan keselarasan dan kesesuaian.
Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Djoko Siswanto mengungkapkan sumur-sumur yang dikelola oleh masyarakat dapat menghasilkan produksi minyak hingga 8.000 barel minyak per hari (bph).
"Kami pernah melakukan forum bersama dengan Polda, dengan TNI, dengan pemerintah daerah, itu bisa mencapai 8.000 barrel of oil per day. Akan tetapi, sekarang ini terhenti karena ini quote and quote masih ilegal," kata Djoko dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI, Kamis (27/2/2025).
Jika regulasi diterbitkan, Djoko optimistis produksi minyak dari sumur-sumur menganggur tersebut bisa meningkat dari 8.000 bph menjadi 10.000— 30.000 bph, terutama dari wilayah Sumatra Selatan, Aceh, dan Jawa.
(mfd/wdh)
































