Sementara dari sisi pengenaan tarif, Sri Mulyani menilai Indonesia dikenakan tarif yang cukup rendah. Namun, ia menegaskan akan mengevaluasi dan mempertimbangkan sejumlah aspek untuk ditingkatkan.
Bendahara Negara juga menyoroti pentingnya produk pertanian asal AS yang diklaim memiliki kontribusi besar terhadap ketahanan pangan Indonesia. Ia menyebut, produk seperti gandum, kedelai, dan jagung merupakan produk pertanian yang dikonsumsi di Indonesia secara signifikan.
Sejumlah komoditas pangan tersebut, ucap Menkeu, memang banyak yang diimpor oleh Indonesia namun tidak hanya dari AS. Sehingga, pemerintah berencana untuk meningkatkan impor pada sejumlah komoditas tersebut.
“Jadi dalam konteks itu, kita selalu dapat membahas bagaimana kita dapat mempersempit kesenjangan dan menempatkan Amerika Serikat pada posisi yang lebih baik untuk menyediakan jenis produk pertanian ini,” kata Sri Mulyani.
Sementara pada sektor energi, Sri Mulyani menekankan bahwa Indonesia masih membutuhkan impor sejumlah komoditas energi meskipun menjadi negara penghasil minyak dan gas. Sebab, kapasitas produksi kedua komoditas energi tersebut masih belum mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Dengan demikian, Sri Mulyani menegaskan pemerintah tengah berencana untuk meningkatkan impor sejumlah komoditas energi, khususnya Liquefied Natural Gas (LNG) dari Negeri Paman Sam tersebut.
“Jadi ini semua adalah area di mana kita tentu dapat melakukan outsourcing minyak dan gas dari Amerika Serikat, termasuk produk Boeing dan sebagainya. Ada juga beberapa komoditas serta produk manufaktur di mana kita dapat mempersempit, mengurangi, atau bahkan menghilangkan surplus ini,” ucapnya.
Sistem insentif pegawai Bea dan Cukai sendiri tengah menjadi sorotan pemerintah AS.Hal itu sebagaimana tertuang dalam dokumen resmi 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers of the President of the United States on the Trade Agreement Program oleh United States Trade Representative (USTR).
Berdasarkan Perjanjian Fasilitas Perdagangan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO), tulis USTR, Indonesia harus menghindari pemberian insentif terhadap penagihan denda yang lebih besar dari tingkat keparahan pelanggaran. Sistem tersebut dinilai memiliki potensi korupsi.
AS membenarkan bahwa Indonesia telah memberitahukan undang-undang penilaian bea cukainya kepada WTO pada September 2001, tetapi belum menanggapi Daftar Periksa Masalah WTO yang menjelaskan bagaimana Perjanjian Penilaian Bea Cukai dilaksanakan.
Kedua, USTR mengatakan perusahaan-perusahaan AS kerap melaporkan tantangan dengan praktik bea cukai Indonesia, khususnya terkait penilaian bea masuk. USTR mengatakan pejabat bea cukai Indonesia sering kali mengandalkan jadwal harga referensi (reference price) sebagai metode penilaian utama, alih-alih menggunakan nilai transaksi sebagaimana disyaratkan oleh Perjanjian Penilaian Bea Cukai atau Customs Valuation Agreement (CVA) WTO. Lebih jauh, eksportir AS melaporkan penentuan penilaian yang berbeda di berbagai wilayah untuk produk yang sama.
Selain itu, USTR juga menyoroti Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 16 Tahun 2021 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis di Bidang Perdagangan Luar Negeri. Beleid itu disebut mewajibkan verifikasi pra-pengiriman oleh perusahaan yang ditunjuk (surveyor) untuk berbagai produk, termasuk elektronik, tekstil dan alas kaki, mainan, produk makanan dan minuman, dan kosmetik.
Namun, USTR mengatakan, Indonesia belum memberitahukan tindakan-tindakan ini kepada WTO sesuai dengan Perjanjian WTO tentang Pemeriksaan Pra-Pengiriman hingga 31 Desember 2024.
(lav)