Dalam pidato publik pertamanya sejak insiden tersebut, Perdana Menteri India Narendra Modi pada Kamis mengatakan, “Para teroris dan dalang di baliknya akan kami hukum lebih buruk dari yang bisa mereka bayangkan.” Beralih dari bahasa Hindi ke Inggris, Modi menyampaikan kepada pendukungnya di negara bagian Bihar bahwa “India akan mengidentifikasi, melacak, dan menghukum setiap teroris beserta pendukungnya.”
Pemerintah India menyebut serangan itu sebagai aksi terorisme terburuk terhadap warga sipil dalam beberapa tahun terakhir. Pada Kamis, polisi di Kashmir mengidentifikasi tiga tersangka, dua di antaranya warga negara Pakistan, sebagai pelaku. Ketiganya adalah anggota kelompok militan Lashkar-e-Taiba yang berbasis di Pakistan, organisasi yang telah ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh India dan AS. Polisi menawarkan hadiah sebesar 2 juta rupee bagi siapa pun yang memberikan informasi.
Sejak 1947, India dan Pakistan telah berperang beberapa kali karena konflik Kashmir. Ketegangan terakhir yang nyaris memicu perang besar terjadi pada 2019, saat seorang pelaku bom bunuh diri menewaskan 40 personel keamanan India. Kelompok Jaish-e-Mohammed yang berbasis di Pakistan mengklaim bertanggung jawab, memicu serangan udara India ke wilayah Pakistan — yang pertama sejak 1971.
“Kedua negara sedang bersikap kekanak-kanakan,” ujar Mohammad Hussain Soharwardi, Kepala Departemen Studi Kawasan Universitas Peshawar. “Dalam situasi tegang seperti ini, investor akan berusaha menarik modal mereka dari kedua negara. Kelompok militan adalah satu-satunya pihak yang diuntungkan dari situasi ini.”
Tanggapan Balas Dendam
Menteri Luar Negeri India Vikram Misri pada Rabu menyatakan bahwa India akan mengurangi jumlah staf diplomatiknya di Islamabad dan telah mengusir setidaknya tiga penasihat pertahanan Pakistan dari Komisi Tinggi India di New Delhi. Pos lintas batas darat antara kedua negara di negara bagian Punjab juga ditutup, dan warga Pakistan di India diminta meninggalkan negara tersebut.
Dalam pernyataannya pada Kamis, pemerintah Pakistan menyebut tindakan India itu “tidak adil, bermotif politik, sangat tidak bertanggung jawab, dan tidak memiliki dasar hukum.” Pakistan juga secara tegas menolak keputusan India untuk menangguhkan perjanjian berbagi air. “Setiap upaya untuk menghentikan atau mengalihkan aliran air yang menjadi hak Pakistan berdasarkan Perjanjian Air Indus akan dianggap sebagai tindakan perang dan akan direspons dengan kekuatan penuh,” tegas pernyataan tersebut.
Penangguhan perjanjian air antara kedua negara meningkatkan risiko terhadap produksi pertanian Pakistan, terutama saat ekonominya masih rapuh dan sangat bergantung pada pinjaman asing, termasuk dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Deskripsi Pakistan atas penangguhan ini menunjukkan bahwa mereka menganggapnya sebagai “ancaman eksistensial,” mengingat ketersediaan air yang terus menurun di negara tersebut, kata Ashok Behuria, peneliti senior di Institut Studi Pertahanan Manohar Parrikar, lembaga kajian berbasis di New Delhi.
(bbn)































