Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Rupiah berpeluang memperbaiki kinerja pada perdagangan hari terakhir pekan ini, setelah kemarin mengakhiri transaksi di level penutupan terlemah sepanjang sejarah.

Peluruhan indeks dolar AS kemarin di pasar New York, ditutup melemah 0,47%, mungkin memberi peluang lebih baik bagi rupiah menjauhi level terlemah. Di pasar offshore, kontrak forward (NDF) rupiah kemarin juga ditutup menguat 0,4% di level Rp16.803/US$.

Pagi ini kembali melemah di kisaran Rp16.831/US$, di mana level itu lebih kuat dibanding posisi penutupan rupiah spot kemarin di Rp16.870/US$. Hal itu melontar sinyal bahwa gerak rupiah di pasar spot hari ini berpeluang menguat karena pola inverted tersebut.

Pada pembukaan pasar Asia pagi ini, sebagian besar mata uang Asia msih tertekan oleh dolar AS yang kembali merangkak naik. Yen melemah terdalam, disusul ringgit, dolar Singapura, yuan offshore juga dolar Hong Kong. Sementara baht dan won Korsel menguat pagi ini terhadap the greenback.

Lanskap pasar global sejauh ini masih diliputi dinamika perang dagang yang berubah dengan cepat. Pasar yang sempat bergembira menyambut sinyal adanya pembicaraan di antara Amerika Serikat dan Tiongkok tentang ketegangan tarif di antara mereka, dibikin kempis lagi. 

Tiongkok membantah adanya pembicaraan untuk sebuah kesepakatan perdagangan. Beijing makin keras menuntut AS mencabut seluruh pengenaan tarif dari Negeri Paman Sam itu.

"AS harus menanggapi suara-suara rasional di komunitas internasional dan di perbatasannya sendiri, serta secara menyeluruh menghapus semua tarif sepihak yang dikenakan pada China, jika benar-benar ingin menyelesaikan masalah," kata juru bicara Kementerian Perdagangan He Yadong pada jumpa pers di Beijing, Kamis (24/4/2025).

Performa rupiah dibanding mata uang Asia lain, sejauh ini menjadi yang terburuk (Bloomberg)

Sinyal The Fed

Di sisi lain, pasar juga mendapatkan kelegaan menyusul sinyal terbaru dari bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed). Ada peluang pemangkasan bunga acuan AS paling cepat bisa terjadi pada Juni nanti. 

Sinyal itu mengangkat appetite pasar ditandai dengan reli harga saham di Wall Street tadi malam di mana S&P 500 naik lebih dari 2%.

Deputi Gubernur The Fed Christopher Waller mengatakan kepada Bloomberg Television ia akan mendukung penurunan suku bunga jika tarif menyebabkan hilangnya lapangan kerja.

Dalam wawancara dengan CNBC, Gubernur The Fed Bank of Cleveland Beth Hammack mengatakan para pejabat bisa bergerak paling cepat pada Juni jika memiliki bukti yang jelas tentang arah ekonomi.

Asing masih jualan

Bila lanskap global masih begitu dinamis, sebaliknya terjadi di pasar domestik. Tekanan jual asing di pasar ekuitas masih berlanjut di mana pada perdagangan kemarin, ketika IHSG akhirnya ditutup melemah 0,31%, pemodal asing kembali membukukan posisi net sell senilai Rp514,54 miliar.

Itu menjadi aksi jual asing dua hari beruntun setelah sempat net buy pada Selasa yang mengakhiri tekanan jual modal global selama 9 hari beruntun, terpanjang sejak 2022.

Tekanan jual asing di saham tak menyusut bahkan ketika bank investasi global, UBS, menaikkan lagi rekomendasi saham RI menjadi overweight kemarin.

Adapun di pasar surat utang RI, animo investor terbilang lebih stabil di mana minta terhadap obligasi pemerintah masih besar ditandai dengan penurunan yield terutama tenor pendek. Yield 2Y kini di 6,463% dan tenor 10Y di 6,932%, seperti ditunjukkan oleh data Bloomberg.

Sebulan terakhir, arus beli di surat utang negara membesar. Yield 2Y terpangkas 21,3 bps dibanding posisi satu bulan lalu. Begitu juga tenor 5Y, yield-nya terpangkas 26 bps dan 10Y terpangkas 24,4 bps.

Hari ini, Bank Indonesia akan merilis hasil survei kegiatan dunia usaha juga PMI manufaktur yang akan memberi gambaran tentang perkembangan industri di Tanah Air. Selain itu, BI juga akan menggelar lelang rutin Sekuritas Rupiah (SRBI).

Peredaran uang turun

Bank Indonesia pada Kamis kemarin mengumumkan data terakhir perkembangan uang beredar. Yang menarik, pada Maret lalu di mana ketika itu puncak perayaan terjadi yaitu Lebaran yang biasanya ditandai dengan lonjakan peredaran uang karena aktivitas konsumsi meningkat, ternyata tidak terjadi.

Likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas pada Maret malah turun sedikit, tumbuh 6,1% year-on-year. Melambat dibanding bulan sebelumnya yang tumbuh 6,2%.

Pertumbuhan kredit juga melemah di mana pada Maret tercatat hanya naik 8,7% yoy setelah pada Februari tumbuh 9,7%. Kedua angka itu juga jauh dari proyeksi bank sentral di kisaran 11%-13%.

Sementara pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan hanya 4,7% yoy pada Maret, juga melambat dibanding bulan sebelumnya yang tumbuh 5,6%.

(rui)

No more pages