"Tidak diragukan lagi bahwa kebijakan tarif akan membebani ekonomi Jepang," kata Yamamoto. "Ini bukanlah lingkungan di mana Jepang merasa nyaman untuk mendorong apresiasi yen lebih lanjut dengan kebijakan moneter setelah mata uang tersebut menguat baru-baru ini."
Yamamoto menghabiskan 36 tahun di BOJ, di mana ia menjadi direktur eksekutif yang bertanggung jawab atas sistem keuangan sebelum meninggalkannya pada tahun 2012 setelah menghadapi krisis keuangan global dan Gempa Bumi Besar Jepang Timur.
Mata uang Jepang telah naik sekitar 10% terhadap dolar tahun ini, sebagian berkat permintaan akan aset-aset safe haven. Mata uang ini diperdagangkan di sekitar 143 per dolar pada Selasa (15/4/2025) pagi, masih lebih lemah daripada rata-rata lima tahun sekitar 130.
Namun, apresiasi ini akan menekan keuntungan dari luar negeri di antara bisnis-bisnis besar, sehingga meningkatkan kekhawatiran mengenai momentum investasi dan kenaikan upah.
Jepang termasuk di antara negara-negara yang diberi penangguhan beberapa tarif AS selama 90 hari, tetapi masih menghadapi pungutan dasar sebesar 10% dan bea masuk sebesar 25% untuk baja dan mobil, yang menghantam industri utama negara tersebut.
Pada saat yang sama, ketegangan perdagangan antara AS dan China, dua mitra dagang terbesar Jepang, kemungkinan akan meningkat dan membebani perekonomian.
"Kabut tidak akan hilang dan kita harus mengakui akan selalu ada ketidakpastian mengingat bagaimana pemerintahan Trump telah mengambil tindakan," kata Yamamoto, seraya menambahkan bahwa terlalu sulit untuk memprediksi kapan debu akan mengendap, sehingga BOJ bisa kembali menaikkan biaya pinjaman.
Namun, Yamamoto memandang bank sentral mungkin akan dengan jelas memberi tanda saat kenaikan suku bunga semakin dekat. Para pembuat kebijakan menjadi lebih berhati-hati dalam berkomunikasi setelah pengalaman mereka pada Juli lalu, saat gejolak pasar terjadi setelah bank sentral mengejutkan banyak pihak dengan mengerek suku bunga dan Gubernur BOJ Kazuo Ueda bersikap lebih hawkish.
Menurut Yamamoto, sebelum kebijakan tarif Trump menjungkirbalikkan lanskap ekonomi global awal bulan ini, BOJ tampaknya tertinggal dalam hal normalisasi kebijakan.
Inflasi tahunan Jepang secara keseluruhan mencapai 2% sejak April 2022 dan pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi tingginya biaya hidup di tengah meningkatnya ketidakpuasan masyarakat.
Pada saat yang sama, lanjut Yamamoto, BOJ mempertahankan jalur kenaikan bertahap dengan mengatakan tren harga belum naik hingga 2%, dan tidak ada cara bagi pihak lain untuk mengukur tingkat tren yang sedang diamati bank, menyerahkannya pada penilaiannya sendiri.
"BOJ tampaknya terlalu fokus untuk mencapai target inflasi 2% untuk jangka waktu yang lama," katanya. "Mereka mengatakan risiko tertinggal sangat kecil, tetapi pandangan tersebut sangat memperlambat normalisasi. Pendekatan ini sangat berbeda dengan yang biasa dilakukan bank sentral."
(bbn)






























