Logo Bloomberg Technoz

Survei itu memperlihatkan bahwa kebanyakan korporasi sudah menyadari besarnya ancaman yang ditimbulkan dari kejahatan dunia maya dan sudah bersiap menggandakan upaya untuk memperkuat keamanan sistem mereka dari serangan siber melalui belanja cyber security dalam nilai lebih besar.

Peningkatan frekuensi serangan ransomware dan insiden peretasan crypto/blockchain menjadi salah satu indikasi bahwa serangan siber tidaklah main-main.

“Serangan di cloud oleh ransomware dan malware adalah salah satu risiko terbesar yang dihadapi oleh organisasi, di mana vektor berisiko tinggi akan melalui saluran seluler dan IOT,” jelas Strategist Yeang Cheng Ling dan Analis Goh Jun Yuong dari DBS dalam CIO Insights kuartal 2-2023, yang dirilis beberapa waktu lalu, dikutip oleh Bloomberg Technoz, Jumat (19/5/2023).

Analisis DBS memperlihatkan, biaya tinggi di sektor kesehatan dan keuangan. Adapun dari perspektif sektoral, sektor layanan kesehatan, keuangan, farmasi, teknologi dan sektor energi mencatat biaya tertinggi dari setiap kebocoran data dibanding sektor-sektor lain. 

Sebagai contoh, pada 2021, setiap pembobolan siber di sektor industri layanan kesehatan menimbulkan kerugian rata-rata hingga  US$ 9 juta dibandingkan dengan rata-rata US$ 5 juta kerugian yang dialami oleh sektor keuangan dan teknologi.

“Rata-rata biaya yang timbul dari setiap pembobolan data (data breach) tercatat terus meningkat secara konsisten dari 2019 hingga 2021,” jelas analis DBS.

Source: CIO Insights DBS 2Q2023

Peningkatan ancaman serangan siber itu mau tidak mau mendorong korporasi untuk lebih serius mengantisipasi dengan menaikkan nilai belanja untuk anggaran keamanan siber. Hampir 70% perusahaan berniat meningkatkan belanja keamanan siber mereka dibandingkan 55% pada tahun sebelumnya.

“Kami yakin peningkatan anggaran siber akan menjadi kenormalan baru dalam perencanaan pengeluaran di antara perusahaan, pemerintah, organisasi, dan bahkan pengguna individu,” imbuh analis.

Hybrid Working

Merebaknya pandemi pada 2020 telah memaksa banyak perusahaan menerapkan remote working menyusul restriksi sosial untuk membatasi penularan Covid-19. Kini, setelah pandemi mereda, hybrid working menjadi normalitas baru yang banyak diadopsi oleh banyak perusahaan. 

Dengan hybrid working menjadi norma baru, otomatis keamanan siber pun mendesak ditingkatkan. Sejauh ini, menurut DBS, memang belum ada metode yang pasti berhasil dan anti-gagal dalam membentengi korporasi dari serangan siber.

Akan tetapi, bukan berarti tidak ada solusi yang bisa diterapkan oleh korporasi dan organisasi lain agar bisa membangun pertahanan dunia maya yang kuat.

Belanja Keamanan Siber akan Melesat

Bank-bank besar di Amerika sejauh ini terkenal tidak tanggung-tanggung dalam membelanjakan anggaran untuk keamanan siber. Salah satunya adalah Bank of America di mana sang CEO Brian Moynihan dikenal dengan pendekatan “cek kosong” perihal keamanan siber. Menurutnya, keamanan siber adalah satu-satunya bidang tanpa kendala anggaran menggarisbawahi keseriusan bank terbesar itu dalam mengantisipasi serangan siber.

JP Morgan Chase bahkan mengalokasikan anggaran tahunan hingga US$600 juta untuk melawan serangan siber, menurut DBS. 

Perusahaan besar lain seperti Microsoft juga membelanjakan sedikitnya US$20 miliar untuk keamanan siber mereka selama lima tahun, meningkat signifikan dari alokasi tahunan US$1 miliar, sementara Google juga menaikkan anggarannya menjadi US$10 miliar pada periode yang sama. 

Pengeluaran global untuk keamanan siber terus meningkat (CIO Insights DBS 2Q2023)

DBS mencatat, pengeluaran total untuk keamanan informasi meningkat dari US$88 miliar pada 2021 menjadi US$172 miliar pada 2020. “Secara global, angkanya diperkirakan akan melonjak jauh menjadi US$270 miliar pada 2026,” tulis analis DBS.

Sepanjang 2018-2020, tercatat beberapa bidang utama pengeluaran dalam hal keamanan IT. Yaitu, keamanan endpoint dan jaringan. Lalu, manajemen identitas dan akses. Kemudian, aplikasi dan proteksi data.

“Itu akan tetap menjadi area fokus utama di mana perusahaan terus menghabiskan lebih banyak sumber daya teknologi informasi dan keamanan siber mereka di area yang luas seperti perlindungan data, ketahanan cloud, dan pertahanan total sistem TI,” jelas DBS.

Menurut perkiraaan Steve Morgan, pendiri Cybersecurity Ventures, pendanaan global untuk memerangi kejahatan dunia maya secara keseluruhan, menurut perkiraan DBS, akan mencapai US$1,7 triliun pada 2021 dan 2025, naik secara signifikan dari US$3,5 miliar pada 2004. Keamanan dunia maya menjadi segmen dengan pertumbuhan tercepat dalam ekonomi informasi. 

CIO Insights DBS Q2-2023

Di kawasan Asia Pasifik, berdasarkan perkiraan International Data Corporation, pengeluaran keamanan IT akan mencapai US$ 23 miliar pada tahun 2021, meningkat 12,6% dari tahun lalu. Angka CAGR 5 tahun diperkirakan sebesar 13% antara 2019 dan 2024, dan pengeluaran keamanan TI diperkirakan mencapai US$ 35 miliar pada tahun 2024.

Dengan latar belakang ini, menurut analisis DBS, Asia Pasifik akan menjadi salah satu kawasan dengan pertumbuhan tercepat dalam adopsi keamanan informasi di bidang-bidang berikut: perangkat keras, jaringan, layanan, perangkat lunak, dan integrasi sistem. Selama pandemi Covid-19, lembaga keuangan dan platform media sosial di Asia Tenggara termasuk yang paling sering terpapar aktivitas phishing dunia maya, membenarkan perlunya meningkatkan kesiapan dunia maya.

(rui)

No more pages