Logo Bloomberg Technoz

Bankir Lebih Khawatir Hal Ini Ketimbang Kenaikan BI Rate

Ruisa Khoiriyah
02 May 2024 12:50

Gedung UOB Indonesia di kawasan MH Thamrin (Ed Wray/Bloomberg)
Gedung UOB Indonesia di kawasan MH Thamrin (Ed Wray/Bloomberg)

Bloomberg Technoz, Jakarta - Keputusan Bank Indonesia mengerek bunga acuan BI rate sebesar 25 bps menjadi 6,25% pada April, menjadi kabar yang kurang enak bagi pelaku industri perbankan. Kenaikan bunga acuan menjadi sinyal pengetatan moneter yang bisa berimbas lebih jauh ke ekspansi kredit dan menaikkan risiko kredit bermasalah akibat mahalnya biaya dana yang bisa mempengaruhi tingkat bunga pinjaman ke nasabah.

Kenaikan bunga acuan sejatinya sudah menjadi bagian dari risiko-risiko yang diantisipasi para pelaku bisnis perbankan. Oleh karena itu, upaya mitigasi dan lindung nilai dari risiko-risiko seperti kenaikan BI rate hampir pasti telah dilakukan oleh para bankir. 

Para bankir lebih mengkhawatirkan prospek permintaan ketimbang suku bunga acuan. "Mengapa pada krisis 1997 dan 2008 imbasnya lebih besar [bagi bank], juga saat pandemi Covid-19 di mana suku bunga sudah rendah, itu karena sisi permintaan yang kena. Jadi, yang lebih penting adalah sisi permintaan, itu yang kami awasi apakah kenaikan bunga berdampak ke agregate demand," kata Presiden Direktur Bank UOB Indonesia Hendra Gunawan dalam pertemuan dengan pimpinan media, Selasa (30/4/2024).

Kondisi permintaan dalam ekonomi yang melemah, ditandai salah satunya dengan kinerja konsumsi rumah tangga yang lesu, lama kelamaan akan berimbas pada ekspansi dunia usaha. Pebisnis akan menahan ekspansi termasuk menahan diri juga dari pengajuan pembiayaan alias kredit dari bank.

Mengacu pada hasil survei perbankan terbaru yang dilansir oleh Bank Indonesia akhir April, kebutuhan pembiayaan oleh korporasi diperkirakan masih meningkat dalam tiga bulan ke depan atau pada Juni terutama dari sektor usaha pertambangan, perdagangan dan otomotif.