Logo Bloomberg Technoz

Logika di balik ledakan permintaan AC itu sederhana. Para ekonom mencatat lonjakan penjualan akan terjadi ketika pendapatan rumah tangga tahunan sebuah negara mendekati US$10.000 (Rp 148,6 juta).

Filipina telah melewati ambang itu kira-kira tahun lalu; Indonesia dalam satu dekade terakhir. Di India, di mana lebih dari 80% populasinya belum memiliki akses ke AC, produk domestik bruto per kapita disesuaikan dengan daya beli akan mencapai US$9.000 tahun ini untuk pertama kalinya.

Cuaca panas di negara berkembang (Sumber: Bloomberg)

Kanwaljeet Jawa, kepala regional India dari Daikin Industries Ltd, produsen AC terbesar di dunia, mengatakan bahwa perusahaannya memiliki peluang tanpa batas dalam beberapa tahun terakhir.

“Penjualan kami tumbuh lebih dari 15 kali lipat,” ujarnya.

Dalam sebuah penelitian yang mengamati ribuan pabrik di India dengan pengaturan pendinginan yang berbeda, para peneliti menemukan bahwa produktivitas turun sekitar 2% untuk setiap kenaikan derajat celsius. Ini adalah masalah besar bagi Perdana Menteri Narendra Modi untuk meningkatkan angka ekspor yang lesu, memikat bisnis dari China, dan meningkatkan rantai nilai global.

Menurut E. Somanathan, penulis laporan dan profesor ekonomi di ISI Delhi, penurunan produktivitas karena panas di India selama 30 tahun terakhir mungkin setara dengan sekitar 1% dari PDB India, atau sekitar US$32 miliar, 

Namun, perluasan penggunaan AC yang terlalu cepat juga mengancam memperburuk krisis karena sebagian besar unit menggunakan zat pendingin yang jauh lebih merusak lingkungan daripada karbon dioksida. Negara-negara di mana permintaan AC tumbuh paling cepat tetap sangat bergantung pada tenaga batu bara, dan kebanyakan orang hanya mampu membeli unit termurah dan hemat energi.

Ilustrasi penggunaan AC (Sumber: Bloomberg)

Abhas Jha, pakar perubahan iklim Bank Dunia yang berbasis di Singapura mengatakan bahwa apabila standar efisiensi tidak meningkat dalam hal ini maka planet ini benar-benar akan matang.

Negara-negara yang lebih kaya dan beriklim sedang telah memperketat peraturan tentang AC, membutuhkan efisiensi energi yang lebih baik dan pendingin yang tidak terlalu berbahaya untuk lingkungan.

Mereka menambah biaya per unit AC, dan membuat pembelian AC agak membebani masyarakat. Badan iklim internasional menekan negara-negara berkembang untuk menurunkan jejak karbon mereka, tetapi India dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa mereka masih berkontribusi jauh lebih sedikit terhadap emisi global daripada negara-negara seperti AS, di mana sembilan dari sepuluh orang memiliki akses ke AC.

“Kami menghadapi situasi di mana kondisi yang sangat keras dipaksakan pada pertumbuhan ekonomi,” kata José Guillermo Cedeño Laurent, asisten profesor kesehatan masyarakat di Rutgers University di New Jersey.

AC untuk Kelangsungan Hidup

Di lingkungan kelas pekerja Delhi, perdebatan ini adalah abstraksi. Bagi banyak orang, akses ke AC adalah masalah kelangsungan hidup. Piyu Haldar, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga mengatakan bahwa gubuknya berubah menjadi tungku saat musim panas.

Atap sengnya menjadi sangat panas sehingga mungkin roti bisa dimasak di atasnya. Sebelum tidur, Haldar dan suaminya biasa memercikkan air ke tempat tidur untuk mendinginkan ruangan.

Ketika putranya lahir pada 2016, dia menderita demam karena panas. Itulah titik puncaknya. Untuk membeli AC Voltas, Haldar berhenti membeli pakaian, mengurangi makan, mengambil utang, dan menggandakan jumlah rumah yang dia bersihkan.

Haldar, 27, menghindari menyalakan AC di siang hari. Namun, saat malam tiba, dia menyalakan saklar dan menutup pintu, mengusir nyamuk dan menjaga udara sejuk.

“Kerabat berkunjung hanya untuk duduk di sebelah AC, orang-orang berpikir kami sangat mewah” kata Haldar yang sejak membeli AC, dia dan suaminya menjadi lebih berenergi di siang hari, dan Yasir tidak lagi sakit karena kepanasan.

Karena semakin banyak orang seperti Haldar yang membeli AC, perusahaan AC mencoba meningkatkan efisiensi energi tanpa mengorbankan pasar pertumbuhan terbesar mereka.

Sebagian besar negara G-20, termasuk India, menggunakan sistem pelabelan untuk menilai efisiensi produk, dan standar yang lebih ketat di AS dan Uni Eropa telah menurunkan penggunaan energi dari peralatan sebesar 15% dalam beberapa tahun terakhir, menurut BloombergNEF.

Untuk perusahaan seperti Daikin dan Haier, permintaan AC yang meningkat dapat kandas dengan peraturan yang dirancang untuk memperlambat perubahan iklim. Sebagian dari masalah sebenarnya bisa terpecahkan apabila negara-negara itu beralih ke sumber energi yang lebih bersih. Masalah lainnya zat pendingin yang mengubah listrik menjadi udara dingin lebih rumit dan akan lebih mahal.

Tantangannya kini bagi negara adalah berpacu dengan waktu untuk menerapkan teknologi yang lebih bersih sebelum jutaan konsumen baru membeli AC.

Keluarga dengan AC di India (Sumber: Bloomberg)

Tahun lalu, di India terjadi beberapa pekan terpanas sejak 1901. Gelombang panas yang brutal mendorong suhu hingga 50 celsius. Kondisi terburuk menewaskan ratusan orang, menyebabkan pemadaman listrik selama berjam-jam dan bahkan menyebabkan tempat pembuangan sampah raksasa di pinggiran ibu kota India terbakar secara spontan.

Naresh Tatavet, seorang supir pribadi di Delhi, termasuk di antara mereka yang merasa muak dengan kondisi itu. Bulan ini, dia membelikan keluarga mudanya AC pertama mereka dan menyebutnya sebagai salah satu investasi finansial terbesar yang pernah dia lakukan atau setara dengan membeli sepeda motor.

Apa pun yang terjadi di belahan dunia lainnya dengan perdebatan soal lingkungan, Tatavet yakin akan satu hal: Keluarganya adalah yang terpenting dan dia tidak bisa lagi melihat anak bayinya muntah karena kepanasan.

"Saya tidak ingin bangun basah kuyup lagi," katanya.

--Dengan asistensi Bhuma Shrivastava, Faseeh Mangi, Selina Xu, dan Jin Wu.

(bbn)

No more pages