Pendanaan tersebut melalui Investree Singapore Pte Ltd, yang diumumkan Adrian Gunadi pada bulan Oktober 2023 senilai lebih dari EUR220 juta (sekitar Rp3,7 triliun, kurs saat itu).
Sebagai bagian dari kesepakatan ini, Investree dan JTA mendirikan perusahaan patungan bernama JTA Investree Doha Consultancy di Doha, Qatar, yang bertujuan untuk menyediakan layanan pinjaman digital bagi UKM di kawasan Timur Tengah.
Sekadar untuk diketahui, JTA International Holding didirikan pada 2010 sebagai penyedia solusi keuangan dan investasi inovatif untuk berbagai bisnis dan proyek global. Perusahaan ini memiliki jaringan mitra luas serta kantor di berbagai negara yang mendukung platform investasinya.
JTA beroperasi di berbagai sektor, termasuk energi, makanan, olahraga, kesehatan, pariwisata, teknologi, dan infrastruktur. Dengan kantor utama di Qatar dan Inggris, saat ini, JTA klaim fokus pada investasi dalam ide-ide potensial dan bisnis di pasar khusus serta ekonomi yang berkembang.
Adapun mengutip dari situs resminya, JTA Investree Doha Consultancy berfokus pada penyediaan perangkat software canggih dan solusi berbasis AI bagi lembaga keuangan di pasar berkembang. Dengan keahlian di bidang keuangan, teknologi, kepatuhan regulasi, dan pengembangan talenta.
JTA Investree memiliki tiga produk; Solusi Penilaian Kredit; Solusi Bisnis UKM; Sistem Peminjaman UKM. Sementara di Indonesia sendiri, Investree merupakan peer-to-peer (P2P) lending marketplace, di mana pelaku industri pinjol menjadi pertemuan antara pihak yang membutuhkan dana dengan pemberi dana atau investor. Aplikasi dari Investree inilah yang memfasilitasi transaksi pinjam-meminjam tersebut.
Industri pinjol atau fintech P2P marakkarena besarnya peluang transaksi seperti halnya kredit perbankan namun berbasiskan online. Mekanisme diklaim jauh lebih mudah, meski risiko yang ditanggung juga membesar. Investor atau biasa disebut lender, menempatkan dana dan memilih kepada peminjam (borrower) yang memiliki rekam jejak bagus. Lender mendapatkan janji imbal hasil berupa bunga atas transaksi pinjam-meminjam tersebut.
Investree memberikan imbal hasil kepada lender dan pada saat yang bersamaan borrower dibebankan biaya pinjaman. Investree tidak membebankan biaya lagi kepada lender, yang telah bertindak sebagai investor. Biaya untuk borrower berasal dari tingkat perbedaan yang rendah antara jumlah yang dibayarkan oleh borrower dan jumlah keuntungan lender, disebut dengan origination fee. Biaya ini sudah termasuk dalam tingkat imbal hasil yang didapat oleh borrower sehingga bebas pungutan tersembunyi.
Dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, Investree mengklaim diisi oleh ahli keuangan dan teknologi dengan skema terbuka, aman dan mudah. Namun, kini Investree menghadapi masalah serius terkait kredit macet.
Pada November 2024 lalu, Anggota Dewan Komisioner OJK Friderica Widyasari Dewi dalam konferensi pers digital di Jakarta menjabarkan sebelum mencabut izin usaha, pihaknya telah mendapat 561 pengaduan tentang pinjol Investree. Ini setara dengan 3% dari total pengaduan fintech ke OJK. Sebagian besar keluhannya terkait kegagalan atau keterlambatan transaksi, return atau imbal hasil margin keuntungan. Kebanyakan pengaduan dari para lender.
"Waktu itu kami juga sudah memberikan peringatan tertulis kepada Investree karena mereka terkesan lambat dalam menanggapi aduan konsumen," terang Friderica. OJK kemudian mencabut izin usaha pinjol Investree dengan alasan telah gagal memenuhi ekuitas minimum sebagaimana diatur dalam melanggar ekuitas minimum dan ketentuan lainnya sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).
Kinerja pinjol Investree juga memburuk sehingga mengganggu operasional dan layanan kepada konsumennya. Sebelumnya OJK telah mendorong manajemen dan pemegang saham Investree patuh atas POJK 10 tahun 2022, termasuk mendapatkan investor strategis yang kredibel.
Dengan demikian, OJK juga turut meminta Investree menyelesaikan kewajibannya kepada lender sesuai dengan peraturan perundang-undangan. "Mereka juga harus menyediakan pusat informasi layanan pengaduan dan penunjukkan penanggung jawab [untuk selesaikan kewajiban itu]," terang Friderica.
Adrian tidak merespons permintaan komentar soal dugaan keterlibatannya di kasus yang tengah ditagani aparat hukum Indonesia, termasuk unggahan yang sebelumnya mengaitkan pada diri dia.
(prc/wep)


































