Logo Bloomberg Technoz

Angka tersebut masih tergolong tinggi dibandingkan standar industri, yang idealnya berada di bawah 80%.

Net Interest Margin (NIM) LPEI pun menurun dari 1,04% pada 2023 menjadi 0,86% pada 2024, menunjukkan bahwa efisiensi dalam menghasilkan pendapatan bunga masih belum optimal.

Tahun 2023, LPEI mencatat beban penyisihan kerugian kredit yang sangat besar akibat kredit bermasalah. Sementara, pada 2024, dengan perbaikan kualitas portofolio kredit, beban penyisihan kerugian ini berkurang signifikan.

Non-Performing Financing (NPF) neto LPEI masih berada di angka 4,52% pada 2024, yang hanya sedikit membaik dari 4,54% pada 2023.

Meskipun mengalami perbaikan, angka ini tetap cukup tinggi dibandingkan standar industri perbankan, yang idealnya di bawah 3%.

Cadangan kerugian penurunan nilai atas pembiayaan dan piutang juga masih signifikan, mencapai Rp17,13 triliun di 2024, meskipun sudah jauh menurun dari Rp32,63 triliun pada 2023.

Pembiayaan dan piutang LPEI turun dari Rp41,18 triliun di 2023 menjadi Rp38,97 triliun di 2024.

Hal ini menunjukkan bahwa ekspansi pembiayaan belum sepenuhnya pulih, meskipun kualitas kredit membaik.

Ketergantungan Pada Tambahan Modal Pemerintah

Pada tahun 2024, LPEI mendapatkan tambahan modal pemerintah sebesar Rp5 triliun, yang sangat membantu dalam memperbaiki ekuitas dan rasio kecukupan modal (CAR).

Terlihat dari peningkatan rasio kecukupan modal (CAR) dari 18,37% di 2023 menjadi 34,94% pada 2024.

Ketergantungan ini menunjukkan bahwa LPEI masih membutuhkan sokongan pemerintah untuk tetap bertahan dan stabil.

LPEI juga mencatat beban pajak sebesar Rp1,58 triliun selama 2023. Sedangkan pada 2024 justru memperoleh manfaat pajak sebesar Rp150,2 miliar karena kerugian perseroan pada 2023.

Jeratan Kasus Fraud dan Korupsi di LPEI

Pada Maret 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan indikasi fraud dalam penyaluran pembiayaan LPEI yang melibatkan empat perusahaan dengan total kerugian sekitar Rp2,5 triliun. Perusahaan yang terlibat dalam dugaan fraud ini bergerak di sektor kelapa sawit, batu bara, nikel, dan perkapalan.

Empat perusahaan yang terindikasi fraud adalah:

  • PT RII: Kerugian Rp1,8 miliar
  • PT SMR: Kerugian Rp2,18 triliun
  • PT SRI: Kerugian Rp1,44 miliar
  • PT PRS: Kerugian Rp305 miliar


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi di LPEI sejak Mei 2023. Namun, Kejaksaan Agung ikut menyelidiki kasus ini setelah menerima laporan resmi dari Sri Mulyani pada Maret 2024 tersebut.

Selain penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung, Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri juga tengah menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang di LPEI.

Fokus penyidikan Kortastipidkor adalah pada pemberian pembiayaan oleh LPEI kepada PT Duta Sarana Technology (PT DST) dan PT Maxima Inti Finance (PT MIF) selama periode 2012 hingga 2016.

Penyidik Kortastipidkor telah memeriksa 27 saksi dan mengumpulkan berbagai dokumen terkait proses pemberian pembiayaan, perjanjian kredit, serta hasil audit yang menunjukkan adanya penyimpangan.

LPEI diduga memberikan pembiayaan kepada PT DST tanpa mengikuti prosedur yang berlaku, yang mengakibatkan kredit macet sebesar Rp45 miliar dan US$ 4,125 juta antara tahun 2012 hingga 2014.

Untuk mengatasi kewajiban PT DST, dilakukan skema novasi dengan PT MIF mengambil alih utang tersebut. Namun, pembiayaan yang diberikan kepada PT MIF juga disalurkan tidak sesuai ketentuan, sebagian besar digunakan untuk membayar utang PT DST dan keperluan lain yang tidak terkait dengan tujuan kredit.

Antara tahun 2014 hingga 2016, LPEI memberikan pembiayaan sebesar US$ 47,5 juta kepada PT MIF. Proses ini diduga penuh dengan penyimpangan, termasuk analisis permohonan kredit yang tidak tepat dan kurangnya pengawasan terhadap penggunaan dana. Akibatnya, pada tahun 2022, PT MIF bangkrut dan gagal membayar utang sebesar US$ 43,6 juta kepada LPEI.

(red)

No more pages