Selain itu, belanja investasi AS pada sektor teknologi tinggi, seperti kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), lebih banyak dibandingkan Eropa, Jepang dan Korea Selatan. Sehingga, belanja investasi tersebut mendorong produktivitas.
Kebijakan Dorong Inflasi
Faktor kedua yang menyebabkan proyeksi BI bahwa FFR hanya akan turun satu kali pada 2025 adalah kebijakan pemerintahan Donald Trump yang meningkatkan inflasi di AS.
Pertama, kebijakan tarif yang menciptakan inflasi dari sisi permintaan dan tarif yang tinggi. Kedua, insentif pajak korporasi yang akan meningkatkan permintaan. Ketiga, deportasi tenaga kerja ilegal. Hal ini akan menyebabkan pengetatan tenaga kerja di AS yang berimplikasi meningatkan inflasi.
“Kebijakan tarif Trump tenaga kerja mengakibatkan ketidakpastian global. Perubahan prospek penurunan FFR kita perkirakan akan lebih sedikit atau lebih rendah dibandingkan perkiraan semula,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kemungkinan pemangkasan FFR hanya sebesar 25 basispoin (bps) pada 2025.
Hal itu itu lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya maksimal 50 bps pada 2025.
“Sebelumnya kebijakan FFR mulai dari 2025 bisa minimal 50 bps dan kemudian turun mungkin maksimal 50 bps. Sekarang kami sudah mulai paham kemungkinan FFR hanya sekali 25 bps,” ujar Perry dalam konferensi pers Januari 2025.
(lav)