Bloomberg Technoz, Jakarta - Arus masuk modal asing ke pasar surat utang terbitan Pemerintah RI, melejit ke level tertinggi dalam empat bulan terakhir.
Mengacu data Kementerian Keuangan RI, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) bertambah Rp7,91 triliun pada 23 Januari, penambahan pertama setelah mencetak penurunan beruntun enam hari perdagangan sebelumnya.
Kepemilikan asing per 23 Januari kini menjadi sebesar Rp874,72 triliun. Sepanjang tahun 2025, rata-rata posisi asing di SBN adalah Rp875,36 triliun dan sempat menyentuh level tertinggi tahun ini di Rp880,46 triliun pada 9 Januari lalu.
Adapun laporan Bank Indonesia yang dilansir Jumat lalu, menyebutkan, investor asing membukukan net buy atau pembelian bersih di SBN senilai Rp9,6 triliun berdasarkan data transaksi 20-23 Januari 2025.
Pada saat yang sama, asing juga membukukan net buy di instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) senilai Rp2,27 triliun. Sementara di pasar saham, asing mencatat net sell senilai Rp350 miliar.
Alhasil, selama periode 20-23 Januari lalu, pemodal asing mencatat posisi net buy di pasar keuangan domestik sebesar Rp11,52 triliun.
Bila menghitung sejak awal tahun hingga data setelmen 23 Januari, investor asing masih terbanyak membelanjakan dana di SRBI dengan nilai net buy mencapai Rp2,95 triliun. Adapun di pasar saham dan SBN, asing masih mencatat posisi jual bersih sebesar Rp2,03 triliun dan Rp1,91 triliun.

Mulai kembalinya asing menyerbu pasar surat utang, kemungkinan karena dua faktor. Pertama, faktor eksternal di mana yield Treasury merambat turun pasca Presiden AS Donald Trump dilantik. Yield UST-10Y kini di 4,6% setelah sempat menyentuh 4,8% pada pertengahan Januari lalu.
Pelaku pasar mulai lebih kalem menanggapi akrobat pernyataan Trump yang silih berganti menyinggung perkara tarif impor, apakah itu pada China, Kanada, Meksiko ataupun Uni Eropa.
Yang terbaru hari ini, meski ketegangan geopolitik global kembali meningkat menyusul vonis tarif Trump pada Kolombia sebesar 25% hingga indeks dolar AS kembali naik, pergerakan yield Treasury masih kalem di semua tenor.
Pasar akan lebih fokus pada perkembangan ekonomi AS berdasarkan data ekonomi yang akan dilansir pekan ini yaitu pembacaan awal data PDB AS pada kuartal akhir 2024 serta laporan pengeluaran dan pendapatan AS (PCE), berikut inflasi PCE.
Pekan ini, Federal Reserve, bank sentral AS, juga menggelar pertemuan dan akan memutuskan kebijakan bunga acuan, di mana pasar memperkirakan Fed fund rate akan ditahan di 4,25%.

Kedua, faktor domestik. Kembalinya investor asing ke pasar surat utang, ditengarai terdorong sentimen prospek bunga acuan BI rate ke depan. Juga, keputusan Presiden RI Prabowo Subianto memerintahkan penghematan anggaran hingga Rp306 triliun yang dinilai bisa membantu defisit fiskal RI lebih stabil di tengah rencana belanja program ikonik yang menguras kas negara.
Dalam pernyataan beberapa kali setelah keputusan mengejutkan penurunan BI rate, Gubernur BI Perry Warjiyo berulang kali mengungkap secara gamblang pernyataan yang dovish.
BI masih melihat ruang pelonggaran moneter lebih lanjut demi mendorong pertumbuhan ekonomi ke target 5,2% tahun ini.
“Kami melihat perkiraan inflasi ke depan rendah misalnya inflasi IHK [Indeks Harga Konsumen] pada akhir tahun kami perkirakan sekitar 2,7%. Bahkan inflasi inti juga rendah 2,6%, dari pertimbangan ini kenapa ruang penurunan suku bunga terbuka,” kata Perry dalam konferensi pers KSSK, Jumat (24/1/2025).
Namun, faktor rupiah masih akan jadi pertimbangan apakah penurunan BI rate itu bisa dilakukan atau tidak.
“Tinggal masalahnya, masalah stabilitas nilai tukar kenapa yang kami sampaikan dinamika global dan domestik. Kami akan lihat bagaimana nilai tukar ke depan,” kata Perry.
Melihat sinyal dari lelang SRBI beberapa kali terakhir, terlihat bila BI berniat untuk memangkas bunga acuan. Dalam empat lelang terakhir, bunga SRBI tenor paling laris, 12 bulan, terus turun hingga terakhir ke level 6,83%. Level bunga SRBI itu adalah yang terendah sejak awal Oktober tahun lalu.
Dengan pemberlakuan kebijakan Devisa Hasil Ekspor yang diperpanjang jadi 12 bulan dengan penempatan 100%, mulai 1 Maret nanti, BI mendapatkan sokongan lebih besar untuk melonggarkan moneter dengan rupiah memiliki 'amunisi' yang bisa memperkuat.
Penghematan Rp306 T
Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025, kebijakan itu diberlakukan segera pada tanggal beleid ditandatangani yaitu pada 22 Januari lalu.
"[Bagi pasar] ekuitas [efeknya] agak turun karena berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi. Bagi obligasi lebih bullish karena pembatasan suplai penerbitan SBN," komentar Lionel Priyadi, Fixed Income and Market Strategist Mega Capital.
Chief Economist NH Korindo Ezaridho Ibnutama berpandangan, secara umum keputusan itu positif karena bisa menghemat kebutuhan penerbitan surat utang. Defisit bisa makin terjaga. Hanya saja, perlu diperjelas lingkup penghematan yang didorong itu di mana saja, menurut ekonom.
Langkah penghematan senilai lebih dari Rp300 triliun itu setara dengan pengurangan belanja sebesar 8,5% untuk tahun ini.
Efisiensi didorong untuk beberapa jenis pengeluaran mulai dari belanja untuk proyek infrastruktur, operasional kantor pemerintah, hingga perjalanan dinas luar negeri oleh Kementerian dan Lembaga. Untuk hal-hal tersebut, nilai penghematan diperhitungkan mencapai Rp256,1 triliun.

Pada saat yang sama, sebanyak Rp50,6 triliun dihemat dari pengurangan transfer ke daerah. Pemerintah Daerah diminta membatasi kegiatan studi banding, acara seremonial serta perjalanan dinas.
Prabowo menyatakan, para pejabat diminta menyusun rencana efisiensi dan memperoleh persetujuan dari DPR-RI sebelum melaporkannya kepada Menteri Keuangan, selambat-lambatnya pada 14 Februari nanti.
Langkah penghematan besar-besaran itu, mungkin bisa memberi sedikit ketenangan pada pasar bahwa Pemerintah RI melakukan langkah agar defisit fiskal tetap terjaga di level 2,5% tahun ini, di tengah hilangnya potensi penerimaan karena pembatalan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai, pemberian stimulus, ketika rencana belanja program Makan Bergizi Gratis diperluas dan menguras biaya makin besar.
Hanya saja, langkah penghematan itu mungkin tak cukup bagi pasar. Para investor, terutama investor asing, mungkin masih akan menunggu lebih banyak gebrakan Pemerintah RI dalam memastikan kondisi fiskal ke depan cukup aman.
"Ini langkah positif tapi mungkin belum cukup untuk mengubah sentimen pasar," kata Wee Khoon Chong, Senior Strategist di Bank of New York Mellon Corp., dilansir dari Bloomberg News.
Investor akan menanti kenaikan pendapatan lebih dulu, alih-alih sekadar melihat upaya efisiensi anggaran. Tekanan fiskal menjadi perhatian utama para pelaku pasar tahun ini terlebih ketika perlambatan ekonomi sudah terlihat jelas terjadi di Indonesia. Ekonomi yang lesu akan menggerus penerimaan negara, terutama dari pajak.
(rui)