Logo Bloomberg Technoz

Kedua, kata Wijayanto, indikasi fiskal yang mengkhawatirkan juga tercermin melalui belanja yang meningkat. "Banyak hal yang seolah-olah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengeluarkan misalnya Bantuan Langsung Tunai [BLT], subsidi, dan lain sebagainya. Hal-hal yang sifatnya sementara sekarang kemudian seolah-olah menjadi satu kewajiban."

Belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang merupakan anggaran pertama Presiden terpilih Prabowo Subianto tembus Rp3.621,31 triliun, angka ini tercatat naik Rp8,26 triliun dari postur Rancangan APBN 2025 awal yang sebesar Rp3.613,1 triliun. Kenaikan belanja negara tersebut dipengaruhi kenaikan belanja non-kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp8,26 triliun.

Ketiga, peningkatan utang untuk menutup defisit bertahun-tahun. Wijayanto memaparkan utang mencapai Rp8.680 triliun pada 2024, dengan rasio utang terhadap PDB 39%.

"Bunga utang yang tinggi, tenor utang yang pendek dan penerimaan negara yang rendah menyebabkan situasi fiskal Indonesia sangat berisiko," ujarnya.

Selain itu, Wijayanto memproyeksikan debt service ratio (DSR) Indonesia mencapai 45% pada 2025, di mana cicilan pokok dan biaya bunga utang Rp1.353 triliun dengan penerimaan negara Rp3.005 triliun. Angka DSR ini jauh di atas ambang batas aman 30%.

DSR merupakan indikator untuk menilai kemampuan membayar kewajiban utangnya dibandingkan dengan pendapatan pada periode tertentu.

"Makin sulit bagi kita untuk mendapatkan pinjaman. Kalaupun dapat pinjaman, bayar bunga dan cicilannya sudah, airnya sudah sehidung. Lebih tinggi lagi kita akan kesulitan," ujarnya

"Belum lagi kalau kita berbicara SBN yang jatuh tempo tahun ini dan tahun depan. Rp800 triliun dan another 800 triliun. Tahun berikutnya cukup tinggi. Kenapa itu terjadi? Ya karena Covid."

(lav)

No more pages