Logo Bloomberg Technoz

Sementara sebagian besar mata uang Asia pekan lalu berhasil mengalahkan dolar AS dengan penguatan mingguan terbanyak dicatat oleh won Korsel 0,96%, lalu yen 0,91%, baht 0,35%, yuan offshore 0,30%, dolar Singapura dan Taiwan 0,23% dan 0,14%. Juga, yuan Tiongkok 0,10% dan dolar Hong Kong 0,02%.

Dalam lelang SRBI perdana setelah BI rate turun, Jumat lalu, animo pasar meningkat dengan incoming bids mencapai Rp63,21 triliun. Penurunan BI rate berdampak pada ekspektasi pasar dalam lelang di mana yield yang diminta oleh pasar (rata-rata tertimbang penawaran) turun jadi 7,05% dari tadinya mencapai 7,26% pada lelang sebelumnya.

Bunga diskonto SRBI yang dimenangkan oleh bank sentral pun akhirnya ikut turun jadi 6,98%, terendah sejak Oktober lalu.

Sampai data 14 Januari, BI telah menjual Rp914,7 triliun SRBI di mana kepemilikan asing mencapai Rp228,85 triliun atau sebesar 25,02% dari total outstanding di pasar sekunder. Kepemilikan asing di SRBI terus menurun di mana pada kuartal IV-2024 saja, posisinya menguap Rp28 triliun. 

Menurut catatan Mega Capital, nilai SRBI jatuh tempo pada Januari ini mencapai Rp114,56 triliun. Besarnya nilai jatuh tempo tersebut, diperkirakan akan membuat arus keluar asing dari instrumen tersebut juga meningkat.

Bank sentral menyerah

Keputusan BI memangkas suku bunga yang mengejutkan pasar, juga sinyal pelonggaran oleh bank sentral India (RBI), dinilai mencerminkan pertahanan yang mulai lemah dalam menghadapi fenomena strong dollar di seluruh dunia.

Sejak inflasi AS melejit pada 2022 yang menaikkan suku bunga Federal Reserve, disambung dengan ancaman reinflasi menyusul keterpilihan Donald Trump, sebagai Presiden AS, bank sentral di Asia jatuh bangun menjaga stabilitas mata uang agar tidak makin tenggelam oleh dolar AS.

BI misalnya, menempuh langkah intervensi langsung dan mengerek suku bunga instrumen tenor pendek, SRBI. BI juga aktif melakukan jual beli  SBN di pasar sekunder untuk menjaga imbal hasil tetap menarik.

Langkah intervensi langsung itu lama-lama menguras cadangan devisa, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang terus melambat. Tak ayal, bank sentral pun akhirnya berbalik badan dan mulai mengalihkan fokus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ketimbang melulu fokus pada stabilitas mata uang.

“Saya memperkirakan bank sentral di Asia akan segera menyerah dalam upaya mempertahankan secara agresif mata uang mereka jika Trump melanjutkan [rencana] menerapkan tarif di tengah rezim dolar yang kuat. Bank sentral Asia mungkin akan lebih memperhatikan penarikan cadangan devisa mereka dan jika perdagangan mulai melambat secara global, itu berarti akan lebih sedikit dolar yang bisa ditambahkan ke cadagan devisa,” kata Alex Loo, Macro Strategist di TD Securities, bank investasi global asal Kanada, dilansir dari Bloomberg.

(rui)

No more pages