Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut rancangan kerja sama mineral kritis dengan Amerika Serikat (AS) tidak akan terpengaruh rencana kebijakan tarif impor oleh presiden terpilih Donald Trump, maupun keanggotaan Indonesia di BRICS. 

Luhut tidak menampik saat ini pemerintah memang masih mencermati rencana penetapan tarif impor—yang kabarnya bakal dinaikkan secara bertahap antara 2% hingga 5% per bulan — oleh Trump.

“Dia mau sampai berapa jauh. Akan tetapi, saya senang tadi malam saya bicara dengan [mitra-mitra] saya di Amerika, mereka bilang bagaimana kalau Indonesia dengan Amerika [kerja sama] menyangkut critical mineral, ownership-nya bersama. Saya bilang, ‘kita sangat welcome sekali’,” kata Luhut di sela agenda Semangat Awal Tahun 2025 by IDN Times, Rabu (15/1/2025).

Tidak ada negara maju yang ingin negara berkembang jadi negara maju.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan

Luhut, bagaimanapun, menegaskan kepada pihak AS agar rencana kerja sama mineral kritis dalam kerangka critical mineral agreement (CMA) tersebut harus menguntungkan kedua pihak, tidak hanya satunya.

Dia juga menegaskan bahwa—dalam kerja sama apapun — Indonesia tidak akan berpihak pada negara adidaya manapun.

“Kita ini terlalu besar untuk berpihak pada superpower manapun, apalagi dengan kondisi kita yang sekarang ini. Itu saya kira penting kita pahami, kita tidak perlu berpihak ke mana-mana,” tegasnya.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan.(Victor J. Blue/Bloomberg)

BRICS Disoal

Lebih lanjut, Luhut mengaku mitra-mitranya di AS kerap mempertanyakan motif di balik keputusan Indonesia bergabung dengan aliansi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS).

Menjawab itu, dia menjelaskan Indonesia melihat BRICS sebagai pasar yang besar dan mitra dagang yang potensial, terlepas dari tekanan atau afiliasi politis ke pihak manapun. Dengan demikian, dia menegaskan, tidak ada yang salah dengan keputusan RI bergabung dalam BRICS.

“Saya ingin sampaikan, saya sampai pada kesimpulan ‘tidak ada negara maju’, saya ulangi sekali lagi, ‘tidak ada negara maju yang ingin negara berkembang jadi negara maju’. Anda pegang itu. Jadi we have to survive. We have to do it on our own. Itu penting, karena kalau kita satu level sama dia [negara maju], dia tidak bisa dikte-dikte kita lagi,” tegasnya. 

Upaya kerja sama mineral kritis dengan AS melalui payung CMA sebelumnya dinilai rawan makin terkatung-katung, setelah Indonesia memutuskan untuk bergabung ke dalam BRICS.

Peneliti Hubungan Internasional Center for Strategic and International Studies (CSIS) Muhammad Habib mengatakan negosiasi mineral kritis Indonesia dengan AS memang sudah “kecil harapannya”, bahkan sejak sebelum Trump menjabat.

“Ini dikarenakan beberapa faktor. Mood di Washington tentang CMA atau kesepakatan perdagangan dengan negara manapun memang masih suram. Baik itu dari Republikan maupun Demokrat,” ujarnya saat dihubungi, belum lama ini.

Apalagi, upaya Indonesia mendiversifikasi sumber investasi asing di rantai pasok mineral logam serta meningkatkan tata kelola antikorupsi dan standar lingkungan serta sosial ketenagakerjaan dinilai masih belum cukup meyakinkann di mata AS.

Kini, kata Habib, kans Indonesia untuk melanjutkan pakta mineral kritis dengan Negeri Paman Sam makin menipis lantaran Trump sudah mengancam bakal menerapkan tarif 100% terhadap produk-produk dari negara anggota BRICS.

“Kita perlu berhati-hati merespons narasi yang disampaikan Trump, mengingat betapa karakternya tidak dapat diprediksi. Harus menunggu terlebih dahulu ketika pelantikan beliau, dan melihat trajectory hubungan AS dengan China dan Rusia di bawah kepemimpinan Trump,” kata Habib. 

(wdh)

No more pages