Hasil obligasi Australia bertenor 10 tahun turun enam basis poin pada awal perdagangan, mengikuti reli obligasi AS setelah data PCE dirilis pada Jumat.
Nilai dolar AS stabil terhadap mata uang utama lainnya setelah Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang pendanaan yang memastikan operasional pemerintah AS hingga pertengahan Maret, menghindari potensi penutupan pada akhir tahun.
Namun, sentimen dapat berubah dengan cepat saat investor mengalihkan perhatian pada pelantikan Donald Trump pada Januari mendatang, serta kemungkinan penerapan tarif global yang luas. Hal ini semakin menambah tekanan pada aset di Asia yang telah terpukul oleh sentimen negatif terhadap China.
Bursa saham Asia diperkirakan mencatat kerugian kuartalan pertama sejak September 2023, sementara indeks mata uang kawasan tersebut turun ke level terendah dalam lebih dari dua tahun pada pekan lalu. Hasil obligasi satu tahun China turun di bawah level yang terakhir terlihat selama krisis keuangan global, seiring meningkatnya ekspektasi pelonggaran moneter.
“Pelemahan baru-baru ini pada mata uang Asia, menurut kami, terutama didorong oleh penguatan dolar AS, perubahan signifikan pada sikap pemerintah China menuju kebijakan moneter yang lebih longgar, dan memburuknya prospek pertumbuhan makro, khususnya di Korea Selatan,” kata Wee Khoon Chong, ahli strategi pasar Asia Pasifik senior di BNY, Singapura. “Mata uang Asia saat ini undervalued, tetapi perlu berhati-hati agar tidak salah langkah.”
Pekan ini, Bank Sentral Australia akan merilis risalah dari pertemuan kebijakan terakhirnya setelah melakukan pergeseran ke arah kebijakan dovish. Selain itu, data inflasi Tokyo — yang sering menjadi indikator awal untuk Jepang secara keseluruhan — juga akan dirilis. Data inflasi di Singapura dan laporan pertumbuhan ekonomi Inggris dijadwalkan untuk dipublikasikan.
(bbn)































