Logo Bloomberg Technoz

Alih-alih muncul di media berita tradisional yang disukai kalangan elit di Washington DC menjelang pemungutan suara DPR, perusahaan tersebut justru mewawancarai seorang TikToker, Lisa Remillard (dengan nama pengguna The News Girl), dengan Michael Beckerman, kepala kebijakan TikTok dan bagian penting dari upaya lobinya. 

Dalam diskusi tersebut, Beckerman mengulangi poin-poin pembicaraan yang sudah familiar: Perusahaan percaya mereka sudah cukup melindungi informasi pengguna dengan menyimpannya di wilayah AS dan mengizinkan pihak ketiga untuk meninjau kode aplikasi. Mereka berpendapat bahwa Kongres sebaiknya mempertimbangkan kebijakan komprehensif untuk privasi data yang berlaku bagi semua perusahaan internet.

"Kami ada di meja negosiasi dan kami senang bekerja sama dengan Kongres dan menunjukkan lebih banyak lagi tentang apa yang kami lakukan, menjadi lebih transparan," kata Beckerman kepada Remillard.

Pembicaraan Gagal

Selama bertahun-tahun, TikTok dan ByteDance telah menyampaikan pesan serupa kepada anggota parlemen secara tertutup melalui lobi besar-besaran yang dipimpin oleh CEO TikTok, Shou Chew. Upaya tersebut tidak cukup untuk meyakinkan koalisi bipartisan yang khawatir tentang pengumpulan data aplikasi pada lebih dari 170 juta warga Amerika — dan potensi pemerintah China untuk menggunakannya guna menyebarkan propaganda.

Kegagalan perusahaan untuk mencegah undang-undang ini setelah pembicaraan bertahun-tahun dengan pemerintah AS, berarti tantangannya sekarang beralih dari diskusi ke pengadilan. Setelah pemungutan suara DPR akhir pekan lalu, Bloomberg News melaporkan bahwa TikTok sedang bersiap untuk menyingkirkan Erich Andersen, penasihat hukum umum TikTok dan induk perusahaannya ByteDance yang berbasis di AS. Andersen telah memimpin pembicaraan selama bertahun-tahun dengan pemerintah Amerika untuk menunjukkan bahwa aplikasi tersebut telah cukup melakukan upaya agar China tidak dapat mengakses detail pribadi pengguna AS atau memengaruhi apa yang mereka lihat di linimasa mereka.

TikTok berpendapat bahwa rancangan undang-undang yang sekarang hampir menjadi undang-undang tersebut akan melanggar Amandemen Pertama. Mereka menunjukkan pengeluaran mereka sebesar US$2 miliar untuk upaya privasi data guna mencoba meredakan kekhawatiran keamanan nasional. Perusahaan tersebut telah membuat kreator dan pemilik usaha kecil ke Gedung Capitol AS untuk mengatakan bahwa mereka akan menderita kerugian ekonomi tanpa TikTok.

CEO TikTok. (Dok: Bloomberg)

'Hak Kebebasan Berbicara'

"Sangat disayangkan bahwa DPR menggunakan kedok bantuan asing dan kemanusiaan yang penting untuk sekali lagi meloloskan undang-undang pelarangan yang akan menginjak-injak hak kebebasan berbicara dari 170 juta orang Amerika, menghancurkan 7 juta bisnis, dan menutup platform yang berkontribusi US$24 miliar terhadap ekonomi AS, setiap tahun," kata juru bicara TikTok pada Sabtu.

Undang-undang luas tersebut, yang disahkan dengan suara 360 banding 58 di DPR pada Sabtu, juga akan menerapkan batasan baru pada pialang data yang menjual informasi kepada musuh asing, dan mengizinkan penyitaan aset Rusia yang dibekukan untuk membantu Ukraina.

"RUU ini melindungi warga Amerika dan terutama anak-anak Amerika dari pengaruh jahat propaganda China di aplikasi TikTok," kata penulis RUU tersebut Michael McCaul, seorang anggota Partai Republik asal Texas. "Aplikasi ini seperti balon mata-mata di ponsel orang Amerika."

Penentang RUU tersebut, seperti Senator Rand Paul, seorang anggota Partai Republik dari Kentucky, masih bisa mencoba untuk menghapus undang-undang mengenai TikTok dari RUU yang lebih besar di Senat, tetapi upaya tersebut kemungkinan tidak akan berhasil.

TikTok di bawah Pengawasan Bertahun-tahun

TikTok melonjak popularitasnya selama pandemi sebagai tempat berbagi video pendek yang menghibur tanpa ekspektasi kesempurnaan seperti yang ada di aplikasi lain seperti Instagram. Linimasa yang dikurasi secara algoritme, disesuaikan berdasarkan minat pengguna - bukan siapa yang mereka ikuti - adalah cara baru yang menawan untuk menjelajahi media sosial, terutama di kalangan konsumen yang lebih muda. Ide tersebut kini telah ditiru oleh Meta Platforms Inc, pemilik Facebook dan Instagram, serta YouTube milik Alphabet Inc.

Pengawasan bertahun-tahun atas hubungan aplikasi tersebut dengan China telah terjadi di lintas pemerintahan presiden, partai politik, dan lembaga pemerintah. Mantan Presiden Donald Trump mencoba melarang TikTok melalui perintah eksekutif yang dibatalkan di bawah Biden, yang pemerintahannya mengawasi peninjauan oleh Komite Investasi Asing di Amerika Serikat (CFIUS).

Berbagai rancangan undang-undang pelarangan bipartisan diusulkan di Kongres dan kemudian dilupakan. Kerangka kerja divestasi atau pelarangan tampaknya akhirnya mencapai kesepakatan.

Undang-undang yang disahkan pada Sabtu memberi ByteDance hampir satu tahun untuk melepaskan kepemilikan platform media sosial tersebut, dengan 90 hari di antaranya dapat ditunda oleh presiden - lebih lama dari kerangka waktu enam bulan dalam versi undang-undang yang disahkan DPR awal tahun ini. Batas waktu yang diperpanjang ini berarti TikTok tidak perlu melepaskan kepemilikan atau ditutup sebelum pemilu, yang membuat cemas beberapa anggota parlemen yang khawatir China dapat menggunakan aplikasi tersebut untuk ikut campur dalam politik AS.

(bbn)

No more pages