Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Peluang perkembangan ekonomi China dan berbalik arahnya kebijakan bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve, mengungkit harapan kebangkitan pasar finansial di negara-negara berkembang (emerging market). Performa pasar saham, mata uang dan obligasi di emerging market terus meroket selama pekan lalu hingga tercatat sebagai performa terbaik kuartalan sejak 2020.

Namun, harapan itu sedikit tertahan karena beberapa faktor. Di antaranya adalah terkait kekuatan mata uang emerging market. Devaluasi mata uang yang terjadi di Mesir memberi sinyal masih tingginya volatilitas mata uang negara-negara berkembang.

Belum lagi bila melihat apa yang terjadi di Turki di mana lira, mata uang mereka, terperosok ke level terendah dalam sejarah. Di Brasil, gejolak politik juga kian memanas antara pendukung mantan presiden Jair Bolsonaro dengan pendukung presiden yang baru terpilih Luiz Inacio Lula da Silva.

Brendan McKenna, analis Wells Fargo Securities spesialisasi pasar negara berkembang, mempercayai, aset-aset dari emerging market berpotensi untuk mencetak kinerja mengesankan tahun ini. Namun, untuk ke sana, tetap dibutuhkan kemampuan menoleransi tekanan-tekanan tersebut. Pendekatan terbaik yang bisa diterapkan oleh investor adalah "taktis dan selektif".

Sumber: Bloomberg

Tekanan yang dihadapi oleh mata uang negara berkembang terutama berasal dari ketidakjelasan langkah The Fed perihal suku bunga. Jika pada akhirnya The Fed masih akan terus mengerek suku bunga, itu akan memberikan pengetatan pasar finansial melampaui yang seharusnya diterima oleh pasar.

Dalam situasi itu, McKenna memprediksi mata uang berfundamental kuat seperti yuan China akan mencetak performa terbaik. Begitupun mata uang dari negara-negara di mana bank sentralnya menerapkan kebijakan hawkish, seperti rand Afrika Selatan dan shekel Israel. Sebaliknya, mata uang berfundamental rapuh seperti pound Mesir dan lira Turki, masih akan tertekan. 

Bagi para pemodal di aset-aset yang lebih berisiko, belum cukup sejatinya bila The Fed menunda kenaikan suku bunga. Yang dibutuhkan adalah kebijakan sebaliknya, yaitu penurunan suku bunga. 

Sebuah sinyal kuat datang dari pqsar obligasi Amerika Serikat (AS), yakni kurva imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang makin curam. Itu terjadi ketika aset bertenor pendek pendek - yang paling sensitif terhadap perubahan kebijakan - naik, mendorong imbal hasil mereka turun lebih banyak daripada yang di jangka panjang.

Pada titik tertentu, laju pengetatan moneter yang lebih lambat tidak akan cukup untuk memperpanjang reli taktis ke dalam jangka menengah, kata Witold Bahrke, ahli strategi makro senior yang berbasis di Kopenhagen di Nordea Investment. "Kami akan membutuhkan tanda-tanda yang lebih nyata dari poros Fed, yaitu pelonggaran kondisi moneter secara langsung."

Bagi Manajer Eurizon SLJ Capital, Alan Wilson, The Fed mungkin akan berbalik arah selama beberapa bulan mendatang, sama seperti akselerasi pertumbuhan yang didorong kebijakan di China mendorong permintaan barang-barang negara berkembang. 

Tentu saja, tidak ada yang pasti. Setelah menaikkan suku bunga dengan laju tercepat sejak tahun 1980-an, pejabat Fed mengeluarkan peringatan yang sangat blak-blakan kepada investor, memperingatkan dalam risalah rapat baru-baru ini agar tidak meremehkan keinginan mereka untuk mempertahankan suku bunga tinggi untuk beberapa waktu. 

Namun, investor menunjukkan bahwa bank sentral negara berkembang telah memimpin kenaikan suku bunga global, membantu membangun penyangga terhadap suku bunga riil AS yang lebih tinggi. Penilaian juga menarik, terutama ketika perbedaan pertumbuhan diperhitungkan.

Ekonom yang disurvei oleh Bloomberg memproyeksikan bahwa tingkat di mana pasar negara berkembang tumbuh lebih cepat daripada pasar maju akan meningkat 7 kali lipat menjadi 3,5 poin persentase pada 2023. Jika AS tergelincir ke dalam resesi, investor yang mengejar pertumbuhan mungkin memiliki sedikit keraguan ke mana mereka harus pergi.

(rui/aji)

No more pages