Logo Bloomberg Technoz

Bumi Makin Panas, Afrika Timur Terancam Kekeringan Hebat

News
27 April 2023 16:18

Kekeringan di Afrika (Sumber: Bloomberg)
Kekeringan di Afrika (Sumber: Bloomberg)

Mohamed Sheikh Nor, Laura Millan, dan Siobhan Wagner – Bloomberg News

Bloomberg, Jutaan orang di Afrika 100 kali lebih mungkin menghadapi kombinasi yang mematikan yang disebabkan suhu tinggi dan rendahnya curah hujan akibat dari perubahan iklim.

Menurut studi oleh para ilmuwan di World Weather Attribution (WWA), pemanasan global mengubah pola hujan dan membawa suhu panas ke Somalia selatan, Kenya timur, dan Ethiopia selatan. Studi ini berupaya mengukur peran perubahan iklim pada peristiwa cuaca ekstrem. Kondisi yang sangat kering seperti itu berpeluang 5% terjadi pada tahun tertentu di planet yang lebih panas saat ini.

“Orang-orang di Afrika tidak asing dengan kekeringan, tetapi lamanya peristiwa ini membuat orang-orang melampaui kemampuan mereka untuk mengatasinya,” kata Cheikh Kane, penasihat kebijakan di Pusat Iklim Palang Merah Bulan Sabit Merah dikutip dari Bloomberg News, Kamis (27/4/2023).

Cheikh menambahkan bahwa lima musim berturut-turut dengan curah hujan di bawah normal, dikombinasikan dengan mata pencaharian yang bergantung pada hujan dan kerentanan lainnya, seperti konflik dan kerapuhan negara, telah menciptakan bencana kemanusiaan.

Perlu diketahui, data dari PBB terdapat 43.000 orang tewas di Somalia tahun lalu sebagai akibat dari kekeringan terburuk di kawasan itu dalam empat dekade dan sekitar 6,5 juta warga Somalia diperkirakan akan menghadapi kerawanan pangan akut tingkat tinggi. 

PBB mencari bantuan sebesar US$2,6 miliar untuk negara tersebut, tetapi hanya 15% yang terkumpul. Situasi di Afrika ini adalah contoh bagaimana negara-negara berkembang yang mengeluarkan sejumlah kecil gas rumah kaca menjadi korban dari kenaikan suhu.

“Masyarakat internasional harus ikut membantu dan meningkatkan jumlah dana untuk mendukung Somalia di saat sulit ini. Meskipun kontribusi nol Somalia terhadap perubahan iklim, Somalia telah menjadi korbannya,” kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres selama kunjungan dua hari ke negara itu awal bulan ini. 

Untuk menentukan peran perubahan iklim terhadap krisis ini, para ilmuwan di WWA menganalisis pola curah hujan dari Januari 2021 hingga Desember 2022. Mereka juga mengamati musim hujan tradisional tahun lalu, dari Maret hingga Mei dan dari Oktober hingga Desember. Para peneliti memeriksa data menggunakan metode ilmiah peer-review yang mensimulasikan kondisi cuaca dalam iklim saat ini, yang telah menghangat 1,2 celcius sejak masa pra-industri.

Mereka menyimpulkan bahwa kombinasi yang tidak biasa dari curah hujan yang rendah dan penguapan air di dalam tanah dan tanaman adalah sebuah fenomena yang dikenal sebagai evapotranspirasi, ini tidak akan menyebabkan kekeringan sama sekali di dunia di mana kenaikan suhu tetap di bawah 1,2 celcius. Secara khusus, hujan di bawah rata-rata terlihat antara periode Maret dan Mei dua kali lebih mungkin terjadi karena perubahan iklim.

Tanda-tanda kekeringan terlihat di mana-mana di Baidoa, salah satu kota yang dikunjungi Guterres di Somalia. Cabang-cabang pohon mati dan bangkai hewan berserakan di tanah. Banyak keluarga terpaksa pindah dari desa mereka berkemah di pinggiran kota dengan harapan menemukan makanan dan tempat tinggal.

Di antara mereka adalah Amina Hassan, seorang ibu dari lima anak yang berjalan kaki selama delapan hari untuk menempuh jarak 150 mil ke Baidoa dari desanya. Kekeringan telah menghancurkan ternak dan tanaman keluarganya.

“Dua anak saya hampir mati ketika saya bertemu dengan keluarga lain yang sedang menuju ke kota, mereka memberi kami air yang menghidupkan kembali anak-anak saya,” katanya. 

Dalam beberapa minggu terakhir, hujan yang terjadi secara tiba-tiba telah menyebabkan banjir di beberapa daerah, memperburuk situasi bagi ratusan orang, menurut Gamal Hassan, direktur Pusat Keunggulan Adaptasi Iklim dan Perlindungan Lingkungan di IGAD, sebuah organisasi antar pemerintah yang memerangi kekeringan di wilayah tersebut selama beberapa dekade.

“Masyarakat sangat rapuh dan ada krisis pengelolaan air yang harus kami tangani. Ada kekurangan infrastruktur untuk menghadapi banjir dan masyarakat di sekitar daerah sungai sudah terkena dampak kerusakan tanaman dan ternak. Penyakit bawaan air sangat mungkin terjadi,” kata Hassan.

Satu-satunya jalan adalah respon yang terkoordinasi di seluruh pemerintah di kawasan dan di berbagai sektor, katanya. Sementara investasi dalam beberapa tahun terakhir telah meningkatkan kemampuan pemerintah untuk menanggapi keadaan darurat iklim di beberapa kota atau wilayah tertentu, dana tetap tidak mencukupi untuk menangani keadaan darurat di mana-mana.

“Kami punya laporannya, kami punya informasi tentang cuaca dan perubahan iklim. Tapi kapasitas, sumber daya untuk bersiap menghadapi banjir dan kekeringan tidak ada” kata Hassan.

(bbn)