Menurut Ahmad Mobeen, ekonom senior S&P Global Market Intelligence stabilitas ini ditopang dua pilar kebijakan. Pertama, stimulis fiskal pemerintah untuk menghidupkan konsumsi rumah tangga. Kedua, kebijakan makroprudensial Bank Indonesia (BI) yang cenderung akomodatif, seiring adanya pergeseran kebijakan moneter yang mendukung pertumbuhan.
Para ekonom juga memproyeksikan kebijakan moneter akan tetap longgar dengan adanya penurunan suku bunga acuan BI ke 4,50% pada akhir kuartal I-2026, dari posisi akhir tahun ini 4,75%. BI juga diprediksi akan kembali menurunkan suku bunga ini pada akhir kuartal II-2026 menjadi 4,25%.
Di saat yang sama, inflasi diperkirakan tetap terkendali dengan Consumer Price Index (CPI) 2025 sebesar 1,90% secara tahunan atau year-on-year (yoy), dan CPI 2026 diprediksi akan naik secara moderat ke 2,75% yoy. CPI merupakan alat ukur perubahan rata-rata harga barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga, untuk mengukur inflasi dan perubahan daya beli, kenaikan CPI artinya menandakan terjadi inflasi atau kenaikan harga.
Sekilas angka pertumbuhan ini cukup membuat kita bernafas lega. Akan tetapi, jika ditelaah lebih lanjut stabilitas seperti ini dapat memiliki risiko laten. Ketika pertumbuhan stagnan di 5%, apalagi selama tiga tahun berturut-turut dan tanpa reformasi struktural, stimulus fiskal berisiko kehilangan kekuatannya. Sedangkan, pelonggaran moneter semakin terbatas dampaknya terhadap sektor riil.
Jika terjadi, masalah utama dari kondisi ini bukan kekuarangan stimulus, tapi bisa jadi ada pada kualitas pertumbuhan yang kurang solid. Misalnya, konsumsi yang didorong oleh belanja pemerintah serta insentif jangka pendek bisa jadi tidak cukup untuk mengangkat produktivitas.
Apalagi, secara fundamental dari sisi ekspor masih rentan terhadap fluktuasi harga komoditas. Apabila investasi tumbuh karena guyuran foreign direct investment (FDI), Indonesia masih akan bergantung pada impor barang modal yang belum mampu menciptakan basis industri domestik yang kuat.
Untuk melompat ke angka pertumbuhan 8%, Indonesia membutuhkan tiga hal, yaitu lompatan produktivitas, modal manusia, serta pendalam industri. Saat ini, dengan angka pertumbuhan 5%, Indonesia mungkin mampu dan cukup kuat untuk menghindari resesi, tapi juga terlalu lemah untuk mengejar target sebagai negara berpendapatan tinggi. Tanpa ketiga hal tadi, bisa jadi angka 5% akan terus muncul setiap proyeksi tahunan.
(riset/aji)




























