Ada dua seri Kangaroo Bonds yang diterbitkan yaitu RIAUD0830 (tenor lima tahun) dan RIAUD0835 (tenor 10 tahun). Total penerbitan adalah AU$ 800 juta (Rp 8,51 triliun).
Kemudian pada Oktober, pemerintah menerbitkan Dim Sum Bonds (obligasi berdenominasi yuan yang diterbitkan di luar China Daratan).
Ada dua seri Dim Sum Bonds yang diterbitkan yaitu RICNH1030 (tenor lima tahun) dan RICNH1035 (tenor 10 tahun). Total penerbitan adalah CNY 6 miliar (Rp 14,05 triliun).
Yield Turun
Pergerakan imbal hasil (yield) surat utang pun cukup dinamis tahun ini. Pada akhir 2024, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun ada di 6,9965%.
Selepas itu, yield bergerak naik. Untuk tenor 10 tahun, yield mencapai puncak di 7,281% pada 14 Januari. Itu menjadi yang tertinggi sepanjang 2025.
Kala itu, sepertinya pasar sedang mencari posisi terkait kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Kembalinya Trump ke Gedung Putih diperkirakan bakal membawa perubahan besar dalam kebijakan luar negeri AS, terutama di bidang perdagangan.
Kemudian situasi sedikit mereda. Namun badai belum berlalu.
Pada Maret-April, pasar keuangan dunia dihebohkan oleh kebijakan Trump. Benar saja, kebijakan perdagangan luar negeri AS dibawa ke titik ekstrem.
Pada awal April, Trump mengumumkan tarif resiprokal terhadap lebih dari 90 negara. Intinya, makin besar suatu negara menikmati surplus perdagangan dengan Negeri Paman Sam, maka makin besar pula tarif bea masuk ekspor mereka ke Negeri Adikuasa.
Dinamika ini membuat yield SBN kembali terangkat. Di pasar obligasi, kenaikan yield berarti harga obligasi sedang turun akibat tekanan jual.
Pada April, setelah pengumuman tarif Liberation Day, yield SBN tenor 10 tahun kembali menyentuh level 7.1%.
Situasi pun kemudian berangsur membaik setelah pasar mampu mencerna dan menyerap seluruh risiko yang disebabkan oleh kebijakan tarif ala Trump. Namun pada akhir Agustus sampai awal September, pasar obligasi Tanah Air kembali bergejolak.
Gelombang unjuk rasa yang berujung ricuh menjalar di berbagai kota, termasuk Jakarta. Kediaman para pejabat negara tidak luput dari sasaran kemarahan massa. Termasuk Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan kala itu yang rumahnya ikut dijarah.
Yield SBN tenor 10 tahun yang sebelumnya sempat turun ke level 6,4% kembali naik dan memuncak ke 6,5% pada 9 September.
Menariknya, September juga mengawali momentum di mana investor asing mengubah posisi dari beli menjadi jual. Pada September, nilai kepemilikan SBN oleh investor asing adalah Rp 908,09 triliun. Berkurang Rp 44,76 triliun dibandingkan Agustus.
Selepas itu, investor asing terus di posisi menjual SBN. Pada Oktober, kepemilikan asing di SBN kembali berkurang menjadi Rp 878,09 triliun.
Per 22 Desember, kepemilikan investor asing menciut ke Rp 876,24 triliun. Porsi kepemilikan investor asing pun menjadi yang terendah dalam satu dekade terakhir.
“Investor sedang menilai ulang kredibilitas Indonesia karena ada kekhawatiran soal keberlanjutan fiskal. Kami tidak tahu bagaimana mereka akan bereaksi saat pertumbuhan ekonomi benar-benar melambat atau situasi menjadi sulit. Kami harus lebih waspada karena masih ada ketidakpastian,” papar Ze Yi Ang, Portfolio Manager di Allianz Global Investor, seperti diberitakan Bloomberg News.
Meski demikian, yield SBN berangsur turun. Bahkan pada pertengahan Oktober sudah berada di bawah 6% untuk tenor 10 tahun.
Hari ini, Senin (29/12/2025), yield SBN tenor 10 tahun berada di 6,12 % pada pukul 10:52 WIB. Jadi sepanjang 2025 (year-to-date), yield turun sekitar 8,8 basis poin (bps).
Penurunan yield obligasi pemerintah Indonesia lebih dalam ketimbang negara-negara tetangga. Untuk tenor 10 tahun, yield obligasi pemerintah Singapura turun 5,5 bps, Taiwan berkurang 2,6 bps, Thailand terpangkas 0,61%, Malaysia melemah 2,9 bps dan Filipina minus 2,2 bps.
Prospek 2026
Lantas bagaimana dengan prospek 2026? Apakah pasar SBN bisa kembali semringah dengan yield yang makin rendah?
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, pemerintah mengasumsikan rata-rata yield SBN 10 tahun ada di 6,9%. Sedikit lebih rendah ketimbang asumsi APBN 2025 yaitu 7%.
Pada 2026, sepertinya investor asing akan kembali melirik pasar keuangan Indonesia, termasuk SBN. Ini karena rasanya investor akan melakukan diversifikasi, sehingga aset-aset di negara berkembang menjadi buruan.
“ASEAN akan diuntungkan karena kebutuhan investor untuk memperluas portofolio mereka ke luar AS. Juga dari eksposur terhadap aset-aset AI (Artificial Intelligence). ASEAN memiliki mesin pertumbuhan yang sangat berbeda,” kata Christopher Wong, Portfolio Strategist di Fidelity International. dikutip dari Bloomberg News.
Sementara Bob Michele dari JPMorgan Asset Management juga menempatkan obligasi pemerintah menjadi salah satu tujuan investasi pilihan pada 2026. Tahun ini, indeks surat utang negara berkembang versi Bloomberg menunjukkan keuntungan lebih dari 15%.
“Saya tidak tahu apakah akan kembali menyamai pencapaian tersebut. Namun peluang investasi di obligasi negara berkembang masih sangat terbuka,” tegasnya dalam wawancara dengan Bloomberg News.
Beberapa obligasi negara berkembang yang menjadi pilihan Michele adalah Brasil, Afrika Selatan, Meksiko, Hongaria, Rumania, dan Indonesia. “Seperti itulah yang masih akan kami masukkan ke portofolio,” ujarnya.
(aji)




























