Skema kedua mencakup perencanaan tata ruang kawasan, termasuk layout kota dan permukiman. Dalam tahap ini, pemerintah menggandeng Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) untuk memastikan desain pemulihan wilayah tersusun secara terintegrasi. Pemerintah menargetkan seluruh proses rapid assessment ini rampung pada Januari 2026.
Selain itu, Hanif menyebut pemerintah juga akan melakukan evaluasi dari sisi lanskap, kawasan, dan daratan dengan meninjau kembali pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Evaluasi KLHS ini menjadi landasan penting dalam penyusunan kebijakan wilayah dan sektoral pascabencana.
Tahapan ketiga dalam proses ini adalah evaluasi persetujuan lingkungan, termasuk dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) serta Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL). Evaluasi dilakukan sesuai standar setiap penanganan bencana, baik skala lokal maupun besar.
“Evaluasi akan dilakukan dengan sangat cepat dan hati-hati melalui analisis dan audit lingkungan.
Audit lingkungan ini sudah berjalan, terutama di Sumatera Utara, dan akan mencakup lebih dari 100 unit usaha di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh,” kata Hanif.
Sementara itu, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto menyatakan bahwa keterlibatan akademisi menjadi elemen utama dalam kajian dan audit lingkungan tersebut. Menurutnya, dosen dan guru besar dari wilayah terdampak akan menjadi garda terdepan dalam tim kajian.
“Yang akan kita libatkan pertama kali adalah dosen-dosen maupun guru besar di wilayah kajian. Namun jika masih dibutuhkan, kami juga telah berkomunikasi dengan sejumlah rektor, dan para pakar dari Jawa, Sumatera bagian selatan, maupun daerah lain siap terlibat,” ujar Brian.
Pemerintah berharap, melalui audit lingkungan dan pelibatan luas komunitas akademik ini, proses rehabilitasi kawasan bencana di Sumatera dapat dilakukan secara ilmiah, transparan, dan berorientasi pada keberlanjutan jangka panjang.
(dec/spt)






























