Sigit mengatakan penggunaan B40 dikeluhkan oleh pelaku industri, sebab FAME memiliki sifat higroskopis atau lebih mudah menyerap air dibandingkan solar murni.
Dengan begitu, terdapat potensi bercampurnya air ke dalam solar baik saat pengangkutan, penyimpanan, maupun di mesin kendaraan.
Kemudian, lanjut dia, FAME memiliki material monoglycerin yang merupakan sisa residual dan tidak bisa dihindarkan selama proses esterifikasi dalam pengolahan FAME.
Sigit menyatakan penggunaan B40 juga lebih mudah menyebabkan adanya endapan pada filter sehingga kinerja filter tersebut dapat terganggu.
Hal tersebut, kata dia, menyebabkan mesin menjadi kurang bertenaga dan konsumsi BBM lebih tinggi.
Lebih lanjut, Sigit mengklaim aditif yang dicampurkan perusahaan dalam B40 Biosolar Performance tersebut dapat membersihkan deposit yang timbul gegara tingginya campuran FAME.
Dia turut mengklaim aditif tersebut memiliki kemampuan untuk meminimalisir tercampurnya solar dengan air.
“Dengan penambahan anti-foam, kita berharap foam ini semakin kecil, semakin sedikit,” ucap dia.
Kemudian, dia menjelaskan aditif tersebut memiliki fungsi corrosion inhibitor. Teknologi tersebut diklaim dapat meminimalisir peluang timbulnya korosi terhadap seluruh komponen, baik tangki Pertamina, tanki penyimpanan konsumen, hingga mesin kendaraan.
Kajian B50
Di sisi lain, Sigit menjelaskan produk tersebut saat ini baru kompatibel untuk campuran solar 60% dan FAME 40% atau B40.
Sementara B50, yang direncanakan pemerintah diterapkan pada semester II-2026, PPN masih meracik campurannya. “Saat ini kami masih berproses untuk riset,” tegas dia.
Sekadar catatan, mandatori biodiesel B40 telah beberapa kali dikeluhkan oleh berbagai pelaku industri sektor pertambangan mineral dan batu bara.
Berbeda dengan B35, B40 tidak sepenuhnya didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melalui dana hasil pungutan ekspor (PE) CPO.
Sebagai perbandingan, pendanaan biodiesel B40 dari BPDPKS hanya diberikan untuk sektor pelayanan publik atau public service obligation (PSO) dengan volume sebanyak 7,55 juta kiloliter (kl).
Adapun, sisanya untuk segmen biodiesel B40 non-PSO sebanyak 8,07 juta kl dijual dengan harga pasar. Hal ini berbeda dengan skema pendanaan program biodiesel sebelumnya yang diberikan untuk seluruh volume produksi, tidak hanya untuk PSO.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengamini mandatori B40 membuat biaya bahan bakar setiap perusahaan mengalami kenaikan yang beragam yakni sekitar Rp2.000—Rp3.000 per liter.
Harga biodiesel B40 tersebut juga ditentukan dengan jarak kirim dari pemasok ke lokasi tambang. Dengan begitu, makin jauh jarak pemasok dari tambang tambang, makin tinggi pula harga jual B40.
Terpisah, Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia mengungkapkan mandatori penggunaan biodiesel B40 di industri pertambangan tidak hanya menambah beban ongkos operasional, tetapi juga membuat garansi terhadap kendaraan alat berat di sektor itu hangus.
Dia juga menyatakan garansi dari pabrikan kendaraan alat berat tak berlaku bagi penggunaan biodiesel dengan campuran FAME kelapa sawit di atas 10%.
“Dampak yang juga mengkhawatirkan adalah tidak adanya jaminan atau garansi dari pabrikan kendaraan alat berat atas penggunaan biodiesel di atas campuran 10%,” kata Hendra ketika dihubungi, Selasa (12/8/2025).
(azr/naw)































