Logo Bloomberg Technoz

Banyak pendiri startup telah menarik pelajaran yang sama: kesederhanaan kini lebih berharga daripada janji-janji manis yang berlebihan, berkaca pada kasus eFishery. Fokus pada pendiri adalah hal-hal yang bersifat fundamental, seperti membesarkan bisnis, daripada terus-menerus mencari investor baru, dan bahkan mempertimbangkan pembelian saham oleh investor, kata Rama Mamuaya, Partner DS/X Ventures, pemodal ventura yang berfokus pada investasi  early stage perusahaan teknologi.

“Pasca kabar eFishery tersebar, banyak putaran pendanaan ditunda,” kata Mamuaya. “Rusaknya kepercayaan adalah salah satu faktor kunci yang membentuk keputusan banyak investor untuk memperlambat proses agar dapat melakukan uji tuntas dan pengecekan yang lebih menyeluruh.”

Di atas kertas, eFishery memiliki semua yang diimpikan oleh sebuah startup: valuasi sebesar US$1,4 miliar (Rp23,4 triliun), rencana bisnis menarik yang dibalut dengan ide-ide untuk menyelamatkan dunia, dan dukungan dari investor ternama termasuk SoftBank Group Corp. dari Jepang, dan Temasek Holdings Pte. dari Singapura.

eFishery. (Bloomberg)

Namun, salah satu pendirinya, Gibran Huzaifah, memalsukan angka-angka tersebut, dengan melaporkan pendapatan dan keuntungan secara tidak benar. Sekitar US$300 juta (Rp5 triliun) uang investor masih belum diketahui keberadaannya.

Dalam wawancara dengan Bloomberg News pada Maret 2025, Gibran memberikan gambaran yang sudah familiar: manajemen yang lemah dan hampir tidak adanya kontrol keuangan. Namun, gambaran lengkapnya lebih besar daripada kegagalan satu perusahaan. Tipu daya “berpura-pura sampai berhasil” dilakukannya bertabrakan dengan pasar yang sudah terguncang oleh penurunan ekonomi 2022, ketidakpastian politik, dan serangkaian kesalahan di seluruh sektor. Hasilnya adalah perubahan lebih luas, yang memicu tanda-tanda perubahan berkelanjutan dalam cara para pendiri dan investor beroperasi di Indonesia.

Ilustrasi eks CEO dan pendiri eFishery Gibran Huzaifah. (Dok: Tangkapan layar Bloomberg Original/Youtube)

Polisi menahan Gibran dan dua mantan eksekutifnya pada Mei. Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak, penyelidikan kasus Gibran telah selesai dan laporannya sudah diserahkan kepada jaksa. Baik Gibran maupun pengacara eFishery tak menanggapi permintaan komentar.

Awal September, pejabat senior di perusahaan investasi milik negara, MDI dan BRI Ventures, ditahan dalam penyelidikan korupsi dan pencucian uang terkait investasi mereka di TaniHub, startup sektor teknologi pertanian lain yang dilanda skandal. Meskipun jaksa telah menuduh adanya pelanggaran keuangan, pengadilan belum mengeluarkan putusan. 

Serangkaian penangkapan tersebut mendorong unit usaha milik Telkom dan BRI yang terkait dengan pemerintah itu, serta Central Capital Ventura, unit pendanaan dari Bank Central Asia yang dimiliki swasta, untuk mencoba menjual saham mereka di startup dengan harga diskon, menurut orang-orang yang mengetahui masalah ini. Ketiga perusahaan tersebut tidak menanggapi permintaan komentar.

Baca Juga: Bos Perusahaan Modal Ventura BUMN di Pusaran Perkara TaniHub

Unit lokal Grant Thornton, auditor operasi eFishery di Indonesia untuk 2022, telah keluar dari jaringan global perusahaan tersebut. Menolak untuk memberikan rincian spesifik, seorang juru bicara mengatakan bahwa perusahaan audit raksasa itu sekarang sedang mencari “anggota baru firma” untuk melanjutkan pekerjaan usai “pemisahan” dari mitra sebelumnya.

Perusahaan investasi Singapura, Temasek, telah menarik diri dari kesepakatan tahap awal. Perusahaan ekuitas swasta pun tak kebal: Northstar Group, salah satu investor awal eFishery, menjual beberapa dana kepada Ares Management yang berbasis di Amerika Serikat tahun ini dalam penjualan obral senilai US$6 juta (Rp100,3 juta).

Baca Juga: Patrick Walujo Sebut Aksi Penipuan di eFishery Sistematis

“Standar untuk berinvestasi jauh lebih tinggi,” kata Sang Han, mitra di East Ventures, sebuah perusahaan investasi terkemuka di Indonesia. “Investor melakukan uji tuntas hukum dan keuangan yang lebih luas, menjalankan berbagai pengecekan referensi, dan berfokus pada valuasi realistis dan metrik operasional.”

Startup Indonesia hanya berhasil mengumpulkan sekitar US$80 juta (Rp1,3 triliun) pada paruh pertama tahun ini—penurunan tajam dari US$200 juta (Rp3,3 triliun) yang tercatat pada periode yang sama tahun 2024 dan jauh dari angka US$9,44 miliar (Rp157,2 triliun) yang terkumpul pada 2021, menurut laporan dari Kickstart Ventures dan DealStreetAsia.

Pendanaan startup di Indonesia masukin fase pelemahan

Terguncang oleh dampak buruk dari kasus eFishery, lima asosiasi modal ventura di Asia Tenggara telah menyusun apa yang mereka sebut sebagai “panduan tata kelola startup” —sebuah cara kerja yang bertujuan untuk mendorong investor agar melakukan uji tuntas nyata, mempersiapkan starup yang menjanjikan untuk IPO, dan membantu perusahaan yang kesulitan untuk keluar dari pasar secara terhormat.

“Pendanaan mungkin telah menurun sejak 2021, tetapi modal ventura masih memiliki dana yang cukup, dan perusahaan-perusahaan yang baik terus mengumpulkan dana,” kata Joel Shen, mitra di firma hukum Withers. “Valuasi saat ini rasional dan, alih-alih mengejar metrik yang dangkal dan valuasi yang semakin tinggi, para pendiri membangun dengan disiplin yang lebih besar.”

Pihak berwenang juga berupaya menstabilkan suasana. Pada awal Oktober 2025, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menurunkan modal disetor minimum untuk perusahaan investasi asing dari Rp10 miliar (sekitar US$600.000) menjadi Rp 2,5 miliar per kegiatan usaha.

Shen mengatakan langkah tersebut memberi ruang gerak bagi startup lokal untuk memanfaatkan modal asing dan mendirikan bisnis di luar negeri. Hal ini membuat mereka lebih menarik bagi investor luar negeri.

“Ini datang pada waktu yang tepat, terutama bagi startup Indonesia tahap awal yang ingin menggalang pendanaan institusional pertama mereka,” kata Shen.

Perusahaan modal ventura lokal Alpha JWC telah meluncurkan platform yang memungkinkan para pendiri, karyawan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk melaporkan pelanggaran secara independen dan rahasia. Cara ini merupakan cerminan lain dari pergeseran yang dipicu oleh skandal eFishery: bagi para pengamat industri, manipulasi neraca keuangan yang dirancang oleh Gibran dan disamarkan melalui jaringan perusahaan cangkang merupakan kejutan, karena entitas tersebut memiliki semua ciri-ciri penawaran umum perdana yang akan segera terjadi. Tampilan itu bertahan hingga seorang pelapor mengungkap penipuan tersebut pada akhir November tahun lalu.

Jefrey Joe, managing partner of Alpha JWC Ventures. Ore Huiying/Bloomberg

Jefrey Joe, mitra pengelola Alpha JWC, mengatakan bahwa lebih dari 50% penipuan terungkap melalui sebuah laporan pelanggaran. Tujuan dari inisiatif ini, katanya, sederhana: jaminan bagi investor, kredibilitas bagi para pendiri. “Usai kepercayaan terbangun, kita dapat fokus pada hal yang penting: rencana pertumbuhan Anda, fundamental bisnis Anda.”

Selama masa kejayaan, para pendiri dan investor beroperasi dalam echo chamber yang sama. Kedua pihak membicarakan tentang kelas menengah Indonesia yang berkembang pesat—puluhan juta konsumen—dan menggelontorkan uang untuk menarik mereka melalui diskon, uang kembali, dan insentif lainnya.
 
Abraham Viktor, salah satu pendiri dan CEO Hangry, perusahaan cloud kitchen, mengenang ketika dana lintas sektor dari investor publik, dana hedge funds, dan ekuitas swasta membanjiri pasar, sehingga sulit untuk mengetahui ke mana uang itu mengalir. Kini, pada 2025, sebagian besar pemain tersebut telah menarik diri, menyisakan kelompok pemodal yang lebih kecil. Viktor melihatnya sebagai pertanda baik. “Tidak menguntungkan bagi perusahaan mana pun untuk mengumpulkan dana dengan valuasi yang sangat tinggi,” katanya. “Saya pikir itu hanya berarti perusahaan harus bekerja lebih keras untuk menciptakan nilai bagi pemegang saham.”

Kelas menengah Indonesia juga menyusut. Sekitar 9,5 juta orang telah keluar dari kelas menengah dalam lima tahun terakhir, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Medan pertempuran selanjutnya adalah 70% penduduk yang hidup dengan kurang dari US$10 (Rp167.300) per hari. Dan perusahaan-perusahaan yang mendapatkan daya tarik saat ini adalah mereka yang membuat produk terjangkau bagi konsumen berpenghasilan rendah.

Baca Juga: Menkomdigi Sebut Tech Winter Terjadi di Dunia, Termasuk Indonesia

Saat Yoshua Tanu mendirikan Jago Coffee bersama sepupu jauhnya, Christopher Oentojo, pada 2020, mereka mengirimkan gerobak roda tiga yang dilengkapi dengan mesin kopi dan biji kopi berkualitas, dan menjual setiap cangkir seharga US$1,2 (Rp20.076). Itu tidak cukup untuk menarik pelanggan yang peka terhadap harga, jadi mereka menurunkannya menjadi US$0,6 (Rp10.038). Untuk menjaga bisnis tetap efisien, mereka membatasi diri pada gerobak bergerak yang dapat dilacak melalui aplikasi ponsel pintar mereka, sehingga mengurangi biaya operasional toko fisik.

Keberlangsungan hidup Jago Coffee memberi isyarat perubahan atribut kesuksesan kewirausahaan di Indonesia. Ketika pendanaan investor melambat dan runtuhnya eFishery mengguncang dunia stattup, mengetahui siapa pelanggan mereka—pekerja lepas, petugas keamanan, staf kantor muda, siapa pun yang mencari secangkir kopi saat bepergian— membantu mereka tetap bertahan dalam bisnis.

“Kelas menengah sejati kita pada dasarnya adalah pasar massal, mereka yang mendapatkan upah minimum,” kata Tanu, yang kini menjabat sebagai CEO Jago Coffee.

Babak Baru Kasus Dugaan Markup Pendapatan eFishery Gibran (Bloomberg Technoz/Asfahan)

(bbn)

No more pages