“Diperkirakan kalau semua selesai dibangun, kita akan membutuhkan sekitar 450 juta ton nickel ore. Kalau pembatasan tetap dilakukan tentu akan ada pabrik yang akan idle,” ungkap dia.
Impor Bengkak
Rizal memprediksi smelter di Indonesia akan mengkerek impor bijih nikel dari negara lain seperti Filipina, New Caledonia dan negara di Pasifik lainnya untuk memenuhi kebutuhan bijih perusahaan.
Rizal khawatir pemangkasan produksi bijih nikel pada 2026 menjadi 250 juta ton dapat mengganggu produksi beberapa smelter yang sudah beroperasi, bahkan dia mewaspadai adanya smelter yang harus beproduksi terbatas karena kekurangan pasokan bijih.
“Padahal di awal pemerintah jorjoran mengundang investor untuk membangun smelter nikel di Indonesia. Namun, hal ini dilakukan tanpa melakukan kajian komprehensif baik dari sisi sumber daya, ekonomi, pasar dan kualitas investasi,” tegas dia.
Sebagai informasi, Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) mengungkapkan impor bijih nikel dari Filipina pada tahun ini diprediksi meningkat menjadi 15 juta ton, atau naik sekitar 25% dari realisasi tahun sebelumnya sekitar 12 juta ton.
Ketua Umum FINI Arif Perdana Kusumah menjelaskan impor bijih nikel asal Filipina tersebut cukup banyak dilakukan perusahaan di wilayah Maluku Utara, seperti untuk kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) hingga Harita Nickel.
“Pada 2025, perkiraan kita sampai akhir tahun ini sekitar 15 juta. Jadi ada kenaikan itu dari Filipina,” kata Arif kepada awak media, dikutip Rabu (17/12/2025).
Arif menerangkan, dari total target produksi bijih nikel dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2025 sekitar 379 juta ton, produksi riilnya diperkirakan hanya bisa mencapai 80% dari total kuota akibat faktor cuaca dan proses peningkatan kapasitas tambang.
Untuk itu, Arif memprediksi sekitar 15% dari total target produksi 300 juta-an ton tersebut akan diimpor oleh pengusaha untuk menutupi kekurangan stok dari produksi domestik.
Adapun, Badan Pusat Statistik (BPS) mendata impor bijih dan konsentrat nikel dari Filipina mencapai 12,01 juta ton sepanjang Januari—Oktober 2025.
Pada periode tersebut, impor nikel melalui pelabuhan Weda tercatat sebesar 9,5 juta ton. Kemudian, 2,11 juta ton impor nikel masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Morowali.
Sisanya, 289.616 ton masuk ke Indonesia melalui pelabuhan Kolonodale. Lalu, 56.650 ton masuk melalui pelabuhan Samarinda dan 53.400 ton masuk melalui pelabuhan Kendari.
Tingginya permintaan bijih juga tidak lepas dari banyaknya investasi smelter baru dalam kurun 5 tahun terakhir. Hal tersebut juga memicu lonjakan eksploitasi nikel di dalam negeri.
Sebagai perbandingan, produksi bijih nikel Indonesia tahun 2019 hanya sekitar 52,76 juta ton, meningkat hampir empat kali lipat menjadi 240 juta ton pada 2024.
Menurut data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), saat ini terdapat 120 proyek smelter pirometalurgi di Indonesia yang membutuhkan total 584,9 juta ton bijih nikel.
Sementara itu, proyek hidrometalurgi hanya sebanyak 27 dengan kebutuhan total 150,3 juta ton bijih nikel.
Dengan demikian total proyek smelter nikel di Indonesia mencapai 147 proyek dengan estimasi total kebutuhan bijih 735,2 juta ton. Sementara itu, rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) nikel yang disetujui untuk 2025 mencapai 300-an juta ton.
(azr/wdh)





























