Logo Bloomberg Technoz

Akhir-akhir ini, sejumlah industri mengeluhkan terjadi pengetatan pasokan gas bumi dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) atau PGN untuk program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).

Mereka memprotes perusahaan pelat merah itu, yang membatasi volume penyaluran HGBT dan mengenakan surcharge atau biaya tambahan yang tinggi pada Agustus lantaran suplai gas harus dialihkan ke regasifikasi LNG.

Dalam surat resmi PGN bernomor 048800.PENG/PP/PDO/2025, manajemen menyatakan keadaan darurat tersebut terjadi sejak 15 Agustus 2025, tetapi tidak dijelaskan tenggat kondisi darurat itu.

Usai pengumuman keadaan darurat tersebut, industriawan dari sektor-sektor penerima HGBT ramai-ramai melaporkan pasokan gas dari PGN menyusut. Mereka juga mengeluhkan adanya pembatasan volume penggunaan HGBT menjadi hanya 48% dari alokasi.

Sementara itu, sisa kebutuhan gas sebesar 52% harus dipenuhi dengan pasokan regasifikasi LNG dengan biaya tambahan yang tinggi dari harga dasar.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief membeberkan surcharge yang ditanggung industri akibat pembatasan pasokan gas oleh PGN itu mencapai US$16,77/MMBtu, sangat jauh dari HGBT.

Dalam perkembangannya, PGN mengumumkan bahwa pasokan gas bumi yang dialirkan ke wilayah Jawa Barat telah kembali normal, setelah sebelumnya sempat tersendat akibat pasokan dari hulu mengalami permasalahan.

Sekadar catatan, pemerintah mematok HGBT hanya sekitar US$6,5—US$7 per million british thermal unit (MMBtu) untuk 7 sektor industri antara lain pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Amanat itu tertuang dalam Kepmen ESDM No.76/2025. Dalam Kepmen tersebut, HGBT dibedakan berdasarkan pemanfaatan gas bumi sebagai bahan bakar sebesar US$7/MMBtu dan untuk bahan baku sebesar US$6,5/MMBtu.

Dalam perkembangannya, terdapat pengalihan kuota ekspor gas sebanyak 27 british thermal unit per day (bbtud).

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengklaim gas tersebut sudah lebih dari cukup guna mengatasi defisit kebutuhan gas industri Tanah Air dalam program HGBT.

Kepala SKK Migas Djoko Siswanto mengatakan mekanisme pengalihan kuota ekspor gas melalui mekanisme swap multipihak tersebut kini telah rampung.

“[Alokasi gas untuk ekspor] yang dari Sumatra kita kurangi sesuai dengan kemampuan dari [West] Natuna. Ini kira-kira kemarin angkanya sudah mengalir 27 bbtud. Potensinya 30 [bbtud], tetapi 27 sudah bisa cukup, lebih dari cukup,” kata Djoko ditemui di sela peresmian fase FEED proyek LNG Abadi.

Proses alih kuota lewat perjanjian swap multi-pihak itu mulai dialirkan pada pekan lalu tetapi kesepakatan swap multipihak tersebut telah ditandatangani sejak 21 Mei.  

PT Medco Energi Internasional Tbk. (MEDC) melalui anak usahanya, Medco E&P Natuna Ltd. dan Medco E&P Grissik Ltd., terlibat dalam kesepakatan tersebut bersama sejumlah pihak, termasuk PT Pertamina (Persero) dan pembeli gas dari Singapura, Sembcorp Gas Pte Ltd.

Pihak lainnya yang turut menandatangani perjanjian ini meliputi Premier Oil Natuna Sea B.V., Star Energy (Kakap) Ltd., Gas Supply Pte Ltd., Petrochina International Jabung Ltd., serta PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGAS) atau PGN.

Medco E&P Natuna Ltd., yang tergabung dalam West Natuna Supply Group—yang mencakup South Natuna Sea Block B, Natuna Sea Block A, dan PSC Kakap—serta Medco E&P Grissik Ltd. sebagai pemasok gas dari Blok Corridor dan PSC Jabung (South Sumatra Sellers), menjadi bagian dari kesepakatan ini bersama para pihak utama lainnya.

Berdasarkan perjanjian tersebut, sejumlah volume gas akan dipasok ke Singapura dari West Natuna Supply Group, menggantikan volume yang saat ini dikirim dari South Sumatra Sellers. Volume yang dialihkan ini kemudian akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan gas domestik dengan PGN sebagai pembeli domestik.

Di sisi lain, Djoko mengungkapkan persoalan gas sudah 100% terpenuhi saat ini.  “Alhamdulillah sudah 100% industri sudah terpenuhi semua,” ujarnya.

(azr/wdh)

No more pages