“Jadi kalau kita sih bahasanya, ini kayaknya ada satu tebang pilih, formulanya enggak fix. Perlakuan satgas juga beda-beda, kemudian juga perlakuan ke perusahaannya juga beda-beda, ada yang dihitung per tahun, ada yang kena enggak per tahun, ada yang kagak, ini gimana? Itu sudah enggak masuk akal,” kata Meidy ditemui di kawasan Jakarta Selatan, dikutip Rabu (17/12/2025).
Ditemui di lokasi yang sama, Ketua Umum APNI Nanan Soekarna mengungkapkan asosiasinya bersama Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) akan menyurati Presiden Prabowo Subianto untuk meminta kejelasan terkait dengan landasan pengenaan denda kawasan hutan mencapai Rp6,5 miliar/hektare (ha).
Nanan menegaskan FINI dan APNI sangat mendukung pemberantasan tambang ilegal dan tak berizin, sehingga surat yang dikirimkan bukan meminta pencabutan atau revisi aturan melainkan meminta penjelasan ihwal dasar penetapan denda tersebut.
Selain itu, surat tersebut juga akan meminta penjelasan ke pemerintah terkait dengan adanya perbedaan formulasi hingga perlakukan yang dilakukan oleh Satgas PKH dalam menagihkan denda.
“Nah itu, jadi ada formulasi yang sama. Jadi satgas kan beda-beda nih, Satgas 1, 2, 3, 4, 5. Nah, harapan kita justru formulanya sama. Loh ini kok beda, ini kok beda. Nah, kita ada formula sama waktu misalnya ke lapangan,” kata Nanan dalam kesempatan itu.
Dia juga berharap Satgas PKH dapat menerima sanggahan-sanggahan yang dijelaskan oleh perusahaan nikel terhadap tudingan melanggar wilayah kawasan hutan tersebut, sebab terdapat beberapa perusahaan yang memiliki bukti bahwa wilayah yang dituding tak termasuk dalam WIUP perusahaan.
“Kalau saya, bagi yang ilegal tindak-tindak habis, malah kalau perlu [dendanya] Rp1 triliun. Bagi yang ilegal, yang tidak ada IUP malah tidak ditindak. Kita yang ada IUP, malah ditindak. Satgas fokus ke sana harusnya, mana yang non-IUP dulu hajar semua,” ungkap dia.
Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan besaran tarif denda administratif untuk kegiatan tambang mineral dan batu bara ilegal di kawasan hutan ditetapkan berdasarkan potensi penerimaan dari hasil tambang.
Dengan begitu, tarif denda administratif yang ditetapkan untuk pelanggaran pertambangan nikel mencapai Rp6,5 miliar/hektare (ha) ditetapkan sebab keuntungan dari komoditas tersebut cukup besar.
“[Dasar pertimbangan pengenaan] gain yang didapat, laba bersih yang didapat. Masing-masing kan beda,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno, dikutip Kamis (11/12/2025).
Tri memastikan pengenaan denda yang tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor: 391.K/MB.01.MEM.B/2025 dilakukan sebagai tindak lanjut dibentuknya satuan tugas penertiban kawasan hutan (Satgas PKH).
Adapun, beleid tersebut mulai berlaku sejak ditetapkan pada 1 Desember 2025.
Lewat beleid itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menetapkan, denda penambangan nikel ilegal di kawasan hutan sebesar Rp6,5 miliar/ha.
Sementara itu, untuk tambang bauksit dan timah masing-masing sebesar Rp1,76 miliar/ha dan Rp1,25 miliar/ha.
Di sisi lain, denda untuk tambang batu bara ilegal di kawasan hutan ditetapkan sebesar Rp354 juta/ha.
“Perhitungan penetapan denda administratif atas kegiatan pertambangan di kawasan hutan ini didasarkan hasil kesepakatan Rapat Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan untuk kegiatan usaha pertambangan,” tulis Bahlil seperti dikutip dari salinan Keputusan Menteri tersebut.
Adapun, penagihan denda itu bakal dilakukan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan. Nantinya, denda itu akan masuk sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor energi dan sumber daya mineral.
(azr/wdh)






























