Kecemasan terkait perdagangan AI melibatkan penggunaannya, biaya pengembangan jadi bengkak, dan apakah konsumen pada akhirnya akan membayar atas layanan tersebut. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan memiliki implikasi besar bagi masa depan pasar saham.
Kenaikan pasar saham S&P 500 selama tiga tahun senilai US$30 triliun sebagian besar didorong oleh perusahaan teknologi terbesar di dunia seperti Alphabet Inc. dan Microsoft Corp., serta perusahaan yang mendapat manfaat dari pengeluaran untuk infrastruktur kecerdasan artifisial seperti produsen chip Nvidia dan Broadcom Inc., serta penyedia listrik seperti Constellation Energy Corp. Jika kenaikan mereka berhenti, indeks saham akan mengikuti.
“Saham-saham ini tidak mengalami koreksi karena laju pertumbuhan menurun,” kata Sameer Bhasin, principal di Value Point Capital. “Saham-saham ini mengalami koreksi ketika laju pertumbuhan tidak lagi meningkat.”
Sudah barang tentu, masih banyak alasan untuk tetap optimis.
Raksasa teknologi yang mendominasi investasi AI memiliki sumber daya yang besar dan berjanji untuk selalu menggelontorkan dana dalam beberapa tahun ke depan.
Selain itu, pengembang layanan AI seperti Google milik Alphabet terus membuat kemajuan dengan model-model baru. Oleh karena itu, perdebatan ini muncul.
Baca Juga: IBM Proyeksikan 5 Tren Teknologi 2026
Berikut adalah tren kunci yang perlu diperhatikan saat menavigasi melalui kondisi pasar yang bergejolak ini.
Akses Modal
Dalam kasus OpenAI, mereka berencana menghabiskan US$1,4 triliun dalam beberapa tahun ke depan. Namun, perusahaan yang dipimpin Sam Altman ini menghasilkan pendapatan jauh lebih sedikit daripada biaya operasionalnya.
Perusahaan yang menjadi startup paling berharga di dunia pada Oktober ini, diperkirakan akan menghabiskan US$115 miliar hingga 2029 sebelum menghasilkan kas pada 2030, seperti dilaporkan The Information tiga bulan lalu.
OpenAI tidak mengalami rintangan dalam penggalangan dana sejauh ini, berhasil mengumpulkan US$40 miliar dari Softbank Group Corp. dan investor lainnya pada awal tahun ini. Nvidia berjanji akan menginvestasikan hingga US$100 miliar pada September, salah satu dari serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh produsen chip tersebut untuk mengalirkan dana ke pelanggan mereka, yang menimbulkan kekhawatiran tentang pembiayaan berputar di industri AI.
OpenAI bisa menghadapi masalah jika investor mulai tak mau kucurkan modal lanjutan. Akibatnya akan berdampak pada perusahaan-perusahaan yang terkait OpenAI, seperti penyedia layanan komputasi CoreWeave Inc.
“Jika Anda memikirkan berapa banyak uang — sekarang sudah mencapai triliunan — yang terkonsentrasi pada sejumlah tema dan perusahaan tertentu, ketika ada tanda-tanda pertama bahwa tema tersebut mengalami masalah jangka pendek atau valuasi sudah terlalu tinggi sehingga tidak mungkin terus tumbuh seperti itu, semua investor akan keluar sekaligus,” kata Eric Clark, manajer portofolio di Rational Dynamic Brands Fund.
Banyak perusahaan lain bergantung pada pendanaan eksternal untuk mengejar ambisi AI. Saham Oracle melonjak setelah mereka mencatat pesanan untuk layanan komputasi awan, tetapi membangun pusat data tersebut akan membutuhkan jumlah uang sangat besar, yang telah diamankan perusahaan dengan menjual obligasi senilai puluhan miliar dolar.
Mengandalkan utang memberikan tekanan pada perusahaan karena pemegang obligasi harus dibayar tunai sesuai jadwal, berbeda dengan investor ekuitas yang sebagian besar mendapat keuntungan saat harga saham naik.
Saham Oracle anjlok pada Kamis usai perusahaan melaporkan pengeluaran modal yang jauh lebih tinggi dari perkiraan pada kuartal fiskal kedua dan pertumbuhan penjualan cloud tidak mencapai perkiraan rata-rata analis. Pada Jumat, laporan bahwa beberapa proyek pusat data yang sedang dikembangkan untuk OpenAI mengalami penundaan membuat saham Oracle turun lebih lanjut dan menekan saham-saham lain yang terpapar infrastruktur AI. Sementara itu, indikator risiko kredit Oracle mencapai level tertinggi sejak 2009.
Seorang juru bicara Oracle mengatakan dalam pernyataan bahwa perusahaan tetap yakin dapat memenuhi kewajibannya dan rencana ekspansi di masa depan.
Investasi Jor-joran Big Tech
Alphabet, Microsoft, Amazon.com Inc., dan Meta Platforms Inc. diperkirakan akan menghabiskan lebih dari US$400 miliar modal dalam 12 bulan ke depan, sebagian besar untuk pusat data. Meskipun perusahaan-perusahaan tersebut mengalami pertumbuhan pendapatan terkait AI dari bisnis komputasi awan dan periklanan, angka tersebut jauh dari biaya yang mereka keluarkan.
“Jika proyeksi pertumbuhan stagnan atau melambat, kita akan berakhir dalam situasi di mana pasar mengatakan, ‘Oke, ada masalah di sini,’” kata Michael O’Rourke, Kepala Strategi Pasar di Jonestrading.
Pertumbuhan laba untuk tujuh raksasa teknologi terkemuka, yang juga mencakup Apple Inc., Nvidia, dan Tesla Inc., diperkirakan mencapai 18% pada tahun 2026. Dan, ini merupakan pertumbuhan terendah dalam empat tahun terakhir dan sedikit lebih baik daripada indeks S&P 500, menurut data yang dikompilasi oleh Bloomberg Intelligence.
Biaya depresiasi yang meningkat akibat ekspansi pusat data menjadi kekhawatiran utama. Alphabet, Microsoft, dan Meta bersama-sama mencatat biaya depresiasi sekitar US$10 miliar pada kuartal terakhir 2023. Angka tersebut naik menjadi hampir US$22 miliar pada kuartal yang berakhir pada September. Dan diperkirakan akan mencapai sekitar US$30 miliar pada periode yang sama tahun depan.
Semua ini bisa memberi tekanan atas program buyback saham dan dividen, yang mengembalikan uang tunai kepada pemegang saham. Pada 2026, Meta dan Microsoft diperkirakan akan memiliki arus kas bebas negatif setelah memperhitungkan pengembalian kepada pemegang saham, sementara Alphabet diperkirakan akan mencapai titik impas, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg Intelligence.
Mungkin kekhawatiran terbesar dari semua pengeluaran ini adalah pergeseran strategi yang diwakilinya. Valuasi Big Tech selama ini didasarkan pada kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pertumbuhan pendapatan cepat dengan biaya rendah, yang menghasilkan arus kas bebas dalam jumlah besar. Namun, rencana mereka untuk AI telah membalikkan hal tersebut.
Baca Juga: CEO Anthropic Sebut Ada Big Tech yang Berlebihan Ambil Risiko
“Jika kita terus melanjutkan strategi leverage untuk mengembangkan perusahaan dengan harapan dapat memonetisasi ini, rasio valuasi akan menyusut,” kata O’Rourke dari Jonestrading. “Jika hal-hal tidak berjalan sesuai rencana, pergeseran strategi ini akan menjadi kesalahan besar.”
Kegembiraan yang Rasional
Meskipun valuasi Big Tech tinggi, capaian tersebut jauh dari berlebihan dibandingkan dengan periode euforia pasar di masa lalu. Perbandingan dengan krisis dot-com sering dilakukan, tetapi skala keuntungan dari AI tidak sebanding dengan apa yang terjadi selama perkembangan internet.
Ambil contoh, Indeks Nasdaq 100 yang didominasi teknologi dihargai 26xlipat dari laba yang diproyeksikan, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg. Angka tersebut melebihi 80x lipat pada puncak gelembung dot-com.
Valuasi selama era dot-com jauh lebih tinggi dari sekarang sebagian karena saham-saham tersebut telah naik terlalu tinggi, tetapi juga karena perusahaan-perusahaan tersebut lebih muda dan kurang menguntungkan — jika mereka memiliki laba sama sekali.
“Ini bukan valuasi perusahaan dot-com,” kata Tony DeSpirito, Kepala Investasi Global dan Manajer Portofolio Ekuitas Fundamental di BlackRock. “Ini bukan berarti tidak ada spekulasi atau euforia irasional, karena memang ada, tetapi saya tidak berpikir euforia itu ada pada saham-saham terkait AI dalam Mag 7.”
Palantir Technologies Inc., yang diperdagangkan dengan rasio harga terhadap laba (P/E) lebih dari 180x laba yang diperkirakan, termasuk di antara saham AI dengan valuasi yang sangat tinggi. Snowflake Inc. adalah contoh lain, dengan rasio P/E hampir 140x laba yang diproyeksikan. Namun, Nvidia, Alphabet, dan Microsoft semuanya di bawah 30x, yang relatif moderat mengingat euforia yang mengelilingi mereka.
Semua ini membuat investor bingung. Ya, risiko sudah terlihat jelas meskipun investor terus mengalir ke saham AI. Namun, untuk saat ini, sebagian besar perusahaan belum dihargai pada level yang memicu kepanikan. Pertanyaannya adalah ke mana arah perdagangan AI dari sini.
“Pola pikir kelompok seperti ini akan retak,” kata Bhasin dari Value Point. “Mungkin tidak akan runtuh seperti pada tahun 2000. Tapi kita akan melihat perputaran.”
(bbn)





























