"Ketiga, pengembangan sumber pembiayaan berkelanjutan agar tidak bergantung pada utang publik, dengan memperkuat pembiayaan swasta, pendalaman pasar keuangan, dan instrumen lindung nilai," papar laporan itu.
Strategi keempat adalah akselerasi digitalisasi ekonomi dan keuangan melalui pengembangan sistem pembayaran ritel dan wholesale, CBDC, tokenisasi aset, serta kerjasama internasional konektivitas pembayaran lintas batas.
Terakhir, adalah peningkatan kerja sama perdagangan dan investasi internasional dengan negara mitra utama, baik bilateral maupun regional, termasuk perluasan penggunaan mata uang lokal (Local Currency Transactions) dan integrasi sistem pembayaran digital antarnegara.
"Sejalan dengan itu, Bank Indonesia bersinergi dengan Pemerintah untuk memperkuat posisi Indonesia di tingkat bilateral, regional, dan global."
Peringatan Krisis 2008
Dalam laporan yang sama, BI memang memberikan peringatan soal adanya faktor risiko yang perlu diwaspadai dampaknya kepada ekonomi global secara keseluruhan, yang salah satunya menyasar pada perilaku lembaga keuangan non-bank.
Laporan tersebut setidaknya memaparkan sejumlah poin peringatan BI terhadap prospek perekonomian global dan Indonesia ke depan ke dalam beberapa bagian, yang diperkirakan akan diwarnai perang dagang dan ketegangan geopolitik.
Salah satu sorotan penting dalam poin tersebut adalah perilaku lembaga keuangan non-bank (NBFIs) yang dapat memicu kerentanan pasar seperti yang terjadi pada Global Financial Crisis (GFC) pada 2008 silam.
Saat ini, BI mengatakan NBFIs kerap memanfaatkan utang pemerintah negara maju untuk menciptakan produk derivatif kompleks dengan tanpa pengaturan margin dan modal yang memadai.
"Jika terjadi pembalikan pasar, potensi penjualan besar-besaran dapat memicu krisis sistemik seperti 2008," tulis laporan itu," paparnya.
Dalam konteks ini, otoritas moneter negara tengah memberi peringatan bahwa mekanisme pembalikan pasar dapat memicu aksi jual besar-besaran.
Apalagi, lanjut BI, saat ini utang publik global juga tercatat mencapai sekitar US$110,9 triliun atau setara dengan 94,6% dari total PDB dunia, sekaligus menjadi level yang tertinggi secara historis.
"Lonjakan utang memicu kenaikan suku bunga global, menambah beban bagi negara berkembang yang harus menjaga pertumbuhan tinggi agar mampu membayar utang," papar laporan itu.
Dengan kata lain, negara berkembang, seperti Indonesia, banyak bergantung pada pembiayaan pasar global. Jika suku bunga global naik, maka kemungkinan biaya utang juga ikut naik; nilai tukar mata uang jadi lebih rentan; dan pembayaran bunga meningkat.
Dampak yang paling serius, lanjut laporan itu, juga akan dirasakan oleh negara miskin yang memiliki ruang fiskal yang kecil, di mana pembayaran utang akan mengurangi anggaran pendidikan dan kesehatan.
Untuk diketahui, krisis GFC 2008 lalu diawali dengan adanya kredit macet akibat jor-joran bank memberikan kredit kepada orang yang tak memiliki pendapatan stabil, yang pada akhirnya gagal bayar di Amerika Serikat (AS) pada kurun 2006-2007.
Puncak krisis terjadi pada 2008, dengan berakhirnya raksasa bank investasi terbesar ke-4 AS, Lehman Brothers yang bangkrut. Ini membuat pasar global panik, semua investor menarik uang, hingga pasar kredit membeku.
Krisis tersebut juga turut berdampak kepada ekonomi Indonesia, yang saat itu mengalami penurunan hingga sekitar 50%; rupiah melemah; hingga ekspor turun akibat perusahaan global menahan ekspansi.
Namun, ditengah risiko itu, BI memprakirakan perekonomian nasional pada 2025 diprakirakan berada di kisaran 4,7-5,5% dan akan meningkat lebih tinggi pada 2026 dan 2027, masing-masing dalam kisaran 4,9-5,7% dan 5,1-5,9%.
(ibn/roy)

























