“Kalau langsung kita naikkan dua kali lipat, misalnya dari 7,5% ke 10%, itu 2,5%. Volumenya sekitar Rp50 triliun. Menyediakan likuiditas sebesar itu dalam waktu singkat tidak mudah,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika kenaikan mencapai 5%, kebutuhan likuiditas bisa mendekati Rp100 triliun, sehingga menurutnya langkah hati-hati wajib diterapkan.
Misbakhun menyebut penyesuaian bertahap juga diperlukan untuk mengurangi potensi praktik cornering, yaitu kondisi ketika harga saham dapat dikendalikan oleh segelintir pihak. Ia menilai kebijakan free float yang lebih besar perlu diseimbangkan dengan ketersediaan saham di pasar agar tidak menimbulkan volatilitas yang tidak diinginkan. “Kita lepaskan pelan-pelan, likuiditasnya ada, saham yang dijual juga ada,” katanya.
Keterangannya ini sekaligus menjadi tindak lanjut atas pembahasan di rapat Komisi XI sehari sebelumnya, ketika OJK memaparkan rencana penyesuaian aturan free float. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan bahwa OJK dan BEI sedang memfinalisasi perubahan basis penghitungan saham publik dari berbasis nilai ekuitas menjadi berbasis kapitalisasi pasar (market cap).
Usulan skema baru membagi kewajiban free float berdasarkan tingkatan market cap: di bawah Rp5 triliun sebesar 20%, Rp5 triliun hingga Rp50 triliun sebesar 15%, dan di atas Rp50 triliun sebesar 10%. Selain itu, perhitungan free float saat IPO hanya akan memasukkan saham yang benar-benar ditawarkan kepada publik, sementara saham pre-IPO dikecualikan.
OJK juga meninjau ulang aturan continuous obligation, yakni kewajiban emiten menjaga porsi saham publik setelah melantai di bursa. Batas yang sebelumnya berada di level 7,5% akan dinaikkan ke kisaran 10–15%, dengan penerapan bertahap mengikuti daya serap pasar, minat investor, serta ukuran kapitalisasi emiten. Emiten baru wajib mempertahankan level tersebut selama satu tahun, sementara masa transisi lebih panjang diberikan untuk kewajiban jangka panjang.
Misbakhun menegaskan bahwa kehati-hatian tetap menjadi prinsip utama dalam perubahan ini. Menurutnya, sektor keuangan memerlukan penghitungan matang agar penyesuaian kebijakan tidak menimbulkan tekanan likuiditas di pasar saham. “Sektor keuangan harus kita kelola dengan berhati-hatian, dengan banyak penghitungan,” ujarnya.
(dhf)
































