"Cara mereka ngakalinya semua pakai nominee orang lokal, terus dibuat perjanjian di bawah tangan sehingga mereka tetap menguasai 100%. Ini fakta, sama kayak orang-orang asing beli aset di Bali, kan banyak notaris atur-atur pakai nominee," ujar Hendrik.
Permudah Kredit
Menurutnya, akar masalah banjir impor baja juga terletak pada sistem penyaluran kredit perbankan. Sejumlah bank besar di Tanah Air dinilai hanya menyalurkan kredit kepada pengusaha besar ataupun titipan politisi.
Akibatnya, tidak ada pemerataan dalam industri tersebut dan tidak ada regenerasi para pengusaha baru.
“Kebijakan ini membuat orang kaya makin kaya dan orang miskin dan menengah akan mustahil masuk ke dalam kategori orang kaya," tegasnya.
Hendrik menekankan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang saat ini stagnan di angka 5%, Indonesia membutuhkan konglomerasi-konglomerasi baru di luar yang sudah ada.
"Capek saja kita lihat ada mall baru atau hotel baru atau real estate baru, kalau kita tanya punya siapa, selalu jawabannya dia lagi, dia lagi. Ini fakta," ungkap Hendrik.
Hendrik mendesak perbankan khususnya Bank BUMN, untuk merevolusi kebijakan penyaluran kredit. Dia menilai bank pelat merah tersebut hanya menyalurkan kredit dengan mengacu pada kolateral bukan pada proyek kreditur.
“Yang punya aset kolateral ya pasti orang usahanya sudah mapan. Sementara orang menengah mau naik kelas mustahil dengan kebijakan seperti ini. Bank harus mengubah kebijakannya. Sebelum krisis 1998, bank acting like a real bank. Sekarang bank acting seperti pegadaian," paparnya.
Baru-baru ini, Kementerian Perindustrian mengungkapkan pemerintah membuka peluang investasi agar negara lain dapat membangun pabrik baja di dalam negeri lantaran industri baja Tanah Air tengah kebanjiran barang impor.
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza mengaku banyak kedatangan investor yang berminat membangun pabrik baja di Indonesia. Negara tersebut yakni China, Vietnam, hingga Eropa.
“Kami minta supaya mereka berinvestasi di Indonesia, bangun pabrik di Indonesia, sehingga mereka juga punya akses ke pasar domestik. Sebagaimana industri-industri atau pabrik-pabrik lain yang selama ini menjadi pemain atau pelaku usaha di pasar domestik,” kata Faisol ditemui di Kompleks Parlemen, Senin (10/11/2025).
“Ada beberapa negara dari Eropa, China, Vietnam yang mau merelokasi pabriknya.”
Dalam kaitan itu, dia menjelaskan kebutuhan baja dalam negeri sebanyak 55% dipenuhi dari impor dan mayoritas berasal dari China. Sementara utilitas dari baja dalam negeri hanya 52%.
"Nah investasi tentu solusi buat industri baja, agar tidak hanya memenuhi kebutuhan dalam negeri yang memang besar, yang selama ini sebagian itu impor, kira-kira 11 juta ton impor, bisa dipenuhi lebih baik kalau mereka berinvestasi di dalam negeri," tuturnya.
(ain)































