Setia menyatakan nantinya Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) akan mengirimkan daftar smelter yang sedang dalam tahap konstruksi.
Setelah itu, lanjut dia, daftar tersebut akan disampaikan ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian)
“FINI akan memberikan daftar smelter yang sedang dalam tahap konstruksi. Daftar tersebut akan disampaikan ke Menko Ekon,” tegas Setia.
Lebih lanjut, dia menyatakan pembatasan pemberian izin bagi smelter nikel baru yang berencana memproduksi produk antara sesuai dengan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015—2035 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 14/2015.
Setia mengungkapkan dalam beleid tersebut diatur bahwa, untuk periode 2025—2035, hilirisasi nikel di Indonesia tak lagi diolah hingga kelas dua yakni NPI, FeNi, nickel matte, MHP; melainkan pada produk yang lebih hilir seperti nickel electrolytic, nickel sulfate, dan nickel chloride.
“Sesuai RIPIN PP No. 14/2015, untuk target industri pengolahan dan pemurnian nikel tahun 2025—2035 bukan lagi pada nikel kelas 2,” ungkap Setia.
Sekadar informasi, Kemenperin turut mengeluarkan izin bagi smelter nikel yang tidak terintegrasi dengan pertambangan berupa IUI.
Sementara itu, smelter nikel yang melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, dan pemurnian nikel di konsesi yang dimiliki harus mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Sebelumnya, FINI berharap pemerintah memberikan pengecualian bagi perusahaan smelter nikel yang sudah melakukan konstruksi pabrik pengolahan agar tetap diperbolehkan beroperasi mengolah nikel menjadi produk antara (intermediate).
Hal tersebut seiring dengan adanya pembatasan investasi baru smelter nikel yang memproduksi produk antara.
Ketua Umum FINI Arif Perdanakusumah menyatakan terdapat beberapa perusahaan anggota FINI yang telah memulai proses konstruksi pabrik pengolahan nikel, sebelum diberlakukannya beleid yang diteken pada 5 Juni tersebut.
Dengan demikian, Arif berharap kebijakan tersebut tidak diberlakukan terhadap perusahaan nikel yang sudah melakukan proses pembangunan sebelum diterbitkannya beleid tersebut.
“Saat ini FINI telah berdiskusi dengan kementrian-kementrian terkait, kami memohon kebijakan dari pemerintah untuk dapat memberikan kebijakan pengecualian dari ketentuan PP No. 28/2025 tersebut dengan mempertimbangkan kesiapan produksi dan proses konstruksi atau pembangunan yang telah dilakukan,” kata Arif ketika dihubungi, Jumat (7/11/2025).
“Hal ini dalam rangka menjaga produktivitas di sektor hilirisasi industri mineral nikel dan menjaga iklim investasi yang kondusif dan adil,” lanjut Arif.
Sebagai catatan, Kemenperin mencatat sampai dengan Maret 2024, Indonesia memiliki total 44 smelter nikel yang beroperasi di bawah binaan Ditjen ILMATE. Lokasi terbanyak berada di Maluku Utara dengan kapasitas produksi 6,25 juta ton per tahun.
Jumlah tersebut belum termasuk 19 smelter nikel yang sedang dalam tahap konstruksi, serta 7 lainnya yang masih dalam tahap studi kelaikan atau feasibility studies (FS). Dengan demikian, total proyek smelter nikel pemegang IUI di Indonesia per Maret 2024 mencapai 70 proyek.
(azr/wdh)
































