Penelitian independen dan akademik menguatkan kekhawatiran ini, menunjukkan bahwa fasilitas pengolahan air sampah (IPAS) di Bantar Gebang memiliki tantangan besar dalam menangani kontaminan, termasuk mikroplastik, yang berasal dari lindi.
Temuan Kelimpahan Mikroplastik: Meskipun proses pengolahan di IPAS diklaim mampu mengurangi kelimpahan, penelitian mengidentifikasi adanya mikroplastik dalam air lindi Bantar Gebang, dengan bentuk dominan seperti fragmen, film, dan fiber serta ukuran yang didominasi oleh partikel berukuran <1 mm.
Risiko Akuifer: Kajian toksisitas juga menunjukkan adanya toksisitas pada air sungai dan air tanah di sekitar Bantar Gebang, yang dipengaruhi oleh rembesan lindi, meskipun mikroplastik sendiri tidak memiliki baku mutu baku resmi.
Hujan Mikroplastik di Langit Jakarta
Hanif juga menyinggung hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menemukan kandungan mikroplastik dalam air hujan di Jakarta. Menurutnya, hal ini tidak mengherankan dan secara langsung disebabkan oleh tumpukan sampah terbuka.
"Dengan sampah yang menumpuk kena hujan, kena air, kena panas, pasti akan menimbulkan mikroplastik," kata Hanif, merujuk pada degradasi plastik di TPA terbuka seperti Bantar Gebang.
Fenomena ini dikenal sebagai atmospheric microplastic deposition, di mana partikel plastik dari daratan (termasuk TPA) naik ke atmosfer dan turun kembali bersama hujan, menimbulkan ancaman kesehatan dan kualitas lingkungan yang baru di Ibu Kota.
Menteri Hanif menggarisbawahi kegagalan Jakarta dalam mengelola sampah di hulu, yang terlihat dari mandeknya operasional fasilitas refuse-derived fuel (RDF) Pluit/Rorotan. Sampah yang tidak dipilah menyebabkan timbulan gas metana, bau, dan penolakan masyarakat.
Ia juga mengkritik kebijakan waste-to-energy (WtE) yang memerlukan subsidi triliunan rupiah dan investasi besar, serta menekankan bahwa 17% hingga 20% sampah nasional adalah plastik yang tidak terurai. Jika dibakar, plastik ini menghasilkan dioksin, dan jika dibiarkan, menjadi mikroplastik dan marine debris yang membahayakan biodiversitas.
Sebagai langkah perbaikan, Menteri Hanif menantang Pemprov DKJ dan multi-stakeholder seperti WWF untuk fokus menyelesaikan masalah sampah di Jakarta Utara sebagai barometer, sebelum mengatasi masalah lingkungan lainnya.
(fik/spt)































