Dia menambahkan, pelaku pasar kini menunggu pertemuan APEC Economic Leaders’ Meeting pada 29 Oktober mendatang, di tengah rencana penerapan tarif baru AS yang dijadwalkan berlaku mulai 1 November.
Selain faktor perang dagang, Hans menyebut pasar keuangan global juga dibayangi kekhawatiran gagal bayar dua bank regional di Amerika Serikat serta potensi government shutdown yang menekan prospek pertumbuhan ekonomi AS.
“Ketidakpastian dari global itu masuk ke kita. Dari dalam negeri sendiri sebenarnya masih aman, tapi pelaku pasar menjadi lebih berhati-hati setelah muncul pernyataan soal saham gorengan,” kata dia.
Hans menilai, pernyataan terkait “saham gorengan” yang belum memiliki definisi resmi menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku pasar.
Dia mengatakan volatilitas pasar dalam negeri cenderung meningkat ketika terjadi guncangan eksternal, karena investor juga menghadapi ketidakpastian kebijakan di dalam negeri.
Sementara itu, Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menilai bahwa penurunan IHSG kali ini juga disebabkan oleh tekanan teknikal setelah indeks mencatat kenaikan signifikan hingga menembus level 8.200 beberapa waktu lalu.
“Posisi pergerakan IHSG saat ini berada di awal fase downtrend, sehingga masih terdapat kemungkinan koreksi berlanjut. Kami memperkirakan IHSG berpotensi menguji area 7.700-7.830 sebagai skenario terburuk,” ujar Herditya.
Dia menambahkan, saham-saham konglomerasi yang sebelumnya menjadi pendorong utama penguatan IHSG kini justru menjadi penekan indeks. Kondisi tersebut dinilai wajar mengingat tingginya kenaikan harga pada periode sebelumnya.
“Mayoritas bursa global juga terkoreksi karena sentimen perbankan di AS. Investor terlihat mengalihkan portofolio ke aset berisiko rendah untuk sementara waktu,” jelas Herditya.
Meskipun terjadi aksi jual di sejumlah saham, Herditya mencatat bahwa emiten perbankan masih bergerak relatif stabil di rentang harga tertentu.
(rtd/naw)






























