Bahlil menyebut, total impor minyak solar yang diperkirakan di angka 4,9 juta kl per tahun akan terpangkas imbas implementasi mandatori B50.
“Semester kedua ya 2026, itu mulai kita implementasikan. Artinya, kita tidak lagi impor solar. Sekarang total kebutuhan solar kita impor 4,9 juta kl, jadi kalau kita konversi ke B50 biodiesel, itu kita sudah tidak impor lagi, devisa kita berapa yang kita tahan,” klaim Bahlil.
Sekadar catatan, Presiden Prabowo Subianto di acara Qatar Economic Forum medio tahun lalu menyebut Indonesia mengimpor solar rata-rata senilai US$20 miliar per tahun atau sekitar Rp323,69 triliun.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian ESDM, impor minyak solar pada tahun ini mencapai 4,9 juta kl atau setara 10,58% dari total kebutuhan nasional. Dengan begitu, total kebutuhan solar RI pada 2025 mencapai sekitar 46,32 juta kl.
Lebih Mahal
Pakar energi dari Universitas Padjajaran (Unpad) Yayan Satyakti memprediksi dana insentif yang dibutuhkan untuk menjalankan mandatori B50 pada 2026 akan lebih mahal sekitar 20%—25% dibandingkan dengan subsidi yang diberikan untuk produk solar yang diimpor pemerintah.
Yayan menjelaskan lebih tingginya dana insentif yang harus dikeluarkan pemerintah tersebut terjadi sebab harga minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dunia terus meningkat, sehingga memperlebar disparitas harga dengan solar.
Apalagi, pemerintah juga berencana memangkas ekspor CPO sebanyak 5,3 juta ton demi menopang kecukupan bahan baku B50. Hal tersebut juga berisiko mengerek harga komoditas minyak nabati andalan Indonesia tersebut.
Untuk itu, Yayan menyarankan pemerintah memperhitungkan kembali implementasi mandatori B50 pada 2026 dengan menyetop impor solar.
Sebagai gambaran, sepanjang 2024, realisasi subsidi solar mencapai Rp17,1 triliun. Sementara itu, besaran insentif yang diberikan pemerintah untuk program biodiesel B40 pada tahun ini diproyeksikan meningkat Rp16,8 triliun menjadi total Rp52,3 triliun.
“Kalau misalkan feedstock-nya harganya makin mahal, maka ‘subsidi’ biodiesel-nya itu akan makin mahal. Nah, kalau seperti itu ya, apa bedanya kita dengan mengimpor solar yang sama juga mahal?" kata Yayan ketika dihubungi, Senin (13/10/2025).
“Berdasarkan hitungan saya, [B50] itu bisa subsidinya lebih besar ya, itu bisa kisaran sekitar 20% sampai 25% [lebih tinggi dari subsidi solar]. Nah, sekarang itu misalkan untuk solar, kita subsidinya ya memang agak besar, tetapi mungkin tidak sebesar kalau misalkan kita menggunakan biodiesel,” terangnya.
Di sisi lain, Yayan juga menilai pasokan CPO Tanah Air belum mencukupi untuk menyuplai kebutuhan produksi B50, sehingga berpotensi terdapat perebutan stok antara kebutuhan energi dengan kebutuhan pangan.
Dia memprediksi, dari setiap kenaikkan kebutuhan CPO untuk sektor energi sebesar 1%, harga CPO untuk sektor pangan akan mengalami kenaikan sekitar 0,2%—0,5%.
Adapun, dana insentif untuk B50 yang disalurkan pemerintah berasal dari pungutan ekspor (PE) CPO. Nantinya, dana tersebut dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit dan akan digunakan untuk menutup selisih harga CPO dengan solar.
Pada tahun ini saja, ketika biodiesel B40 dimandatorikan, dana insentif yang diberikan BPDP untuk program tersebut diproyeksikan meningkat. Mulanya, pembiayaan biodiesel untuk program B40 diproyeksikan sekitar Rp35,5 triliun, tetapi akhirnya mengalami kenaikan Rp16,8 triliun menjadi sekitar Rp52,3 triliun.
Alokasi pendanaan biodiesel pada 2025 hanya dibatasi untuk segmen public service obligation (PSO) sebanyak 7,55 juta kiloliter (kl) dari total target produksi B40 tahun ini sebanyak 15,6 juta kl.
Sementara itu, untuk B50, pemerintah masih menyusun besaran insentif yang akan dialokasikan seiring dengan berjalannya pengujian teknis B50.
Sebagai catatan, Kementerian ESDM memprediksi Indonesia membutuhkan tambahan produksi 4 juta kl fatty acid methyl ester (FAME) untuk menjalankan mandatori B50 pada 2026.
Kementerian ESDM mencatat total produksi biodiesel untuk memenuhi kebutuhan B40 berada sekitar 15,7 juta kl. Untuk B50, ESDM memprediksi program tersebut akan menghabiskan biodiesel sekitar 19 juta hingga 20 juta kl.
Dengan begitu, Indonesia membutuhkan tambahan produksi sekitar 4 juta kl FAME untuk menjalankan B50.
(azr/wdh)

































