Logo Bloomberg Technoz

Terakhir kali mereka berkumpul di Washington DC April lalu, prospek ekonomi jauh lebih suram. Pengumuman tarif "Liberation Day" Trump mengguncang pasar keuangan dan membuat para pembuat kebijakan khawatir akan resesi global yang ditandai dengan pembalasan perdagangan, lonjakan inflasi, dan kemerosotan investasi.

Namun, selama enam bulan terakhir, sebagian besar kejutan justru positif, terutama di negara dengan ekonomi terbesar dunia.

Produk domestik bruto (PDB) AS tumbuh pada kuartal kedua dengan laju tercepat dalam hampir dua tahun. Bahkan setelah ancaman tarif baru Trump mengguncang pasar pada Jumat, Indeks S&P 500 melonjak 32% sejak level terendah pada April. Penopang utama pasar saham dan ekonomi riil: AI dan rekor investasi pusat data yang dibutuhkan untuk mendukung komputasi awan.

Perusahaan sejauh ini telah mengatasi gangguan tarif dengan meningkatkan persediaan dalam jangka pendek dan menerima margin lebih tipis, alih-alih membebankan biaya tarif lebih tinggi kepada konsumen.

"Ketahanan ini disambut baik, tetapi saya pikir tidak berkelanjutan," ujar Karen Dynan, profesor ekonomi di Universitas Harvard dan peneliti senior nonresiden di Peterson Institute for International Economics, dalam briefing pekan lalu. "Kita akan melihat perlambatan pertumbuhan ekonomi global."

Pada Jumat, Trump mengatakan akan memberlakukan tarif tambahan 100% pada China mulai 1 November—mengakui bahwa dia bisa mundur dari eskalasi tersebut jika China menarik ancaman pembatasan logam tanah jarang.

Proyeksi terbaru Bloomberg Economics memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun depan melambat. Para ekonom memprediksi kenaikan PDB riil sebesar 3,2% pada 2025, sama dengan tahun lalu, dan kenaikan 2,9% tahun depan.

Lonjakan Utang

Lonjakan utang, baik di negara maju maupun negara berkembang, akan menjadi topik utama dalam diskusi di Washington. Utang global meningkat lebih dari US$21 triliun pada paruh pertama tahun ini, mencapai rekor hampir US$338 triliun, menurut Institute of International Finance (IIF), ini level kenaikan serupa dengan yang terjadi selama pandemi.

Upaya pemerintah Trump untuk menopang ekonomi Argentina sebelum Pemilu paruh waktu akhir bulan ini juga akan menjadi topik utama. IMF setuju memberikan pinjaman tambahan kepada Argentina pada April, tetapi hal ini terjadi di tengah penolakan internal yang meluas. Direktur Eksekutif IMF, Kristalina Georgieva telah terlibat dalam pembicaraan terbaru dengan para pejabat AS dan Argentina.

Pertumbuhan upah di AS terbukti jauh lebih lemah dari perkiraan karena perusahaan memperlambat perekrutan—sektor manufaktur negara ini bahkan mengurangi lapangan kerja selama empat bulan berturut-turut.

Indeks aktivitas pabrik China pada September memperpanjang penurunan menjadi enam bulan beruntun— penurunan terpanjang sejak 2019. Ekonomi Jerman berkontraksi jauh lebih parah dari perkiraan awal pada kuartal kedua, dan pabrik otomotifnya yang bergantung pada ekspor sedang terpuruk.

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) berbasis di Jenewa pada 7 Oktober memperkirakan pertumbuhan perdagangan barang global  akan melambat secara signifikan tahun depan, mencerminkan dampak tertunda akibat tarif Trump. Volume perdagangan barang diperkirakan hanya naik 0,5% pada 2026, dibandingkan dengan 2,4% tahun ini.

"Tantangan bagi ekonomi global semakin berat," kata Frederic Neumann, Kepala Ekonom Asia HSBC Holdings Plc di Hong Kong. "Meski tergoda untuk percaya bahwa volume ekspor global bisa tetap aman dari tarif AS, dampak dari peningkatan tarif sebelumnya tampaknya tak terelakkan."

WTO mempercepat proyeksi 2025, tetapi memangkas untuk 2026. (Bloomberg)

Salah satu pertanyaan terbesar yang masih menggantung: apakah kenaikan harga pada akhirnya akan menghambat konsumsi konsumen AS, dengan konsekuensi berantai bagi dunia. Meski dampak tarif terhadap aktivitas ekonomi global lebih kecil dan singkat dari yang dikhawatirkan awal tahun ini, "masih ada dampak lain yang akan muncul," ujar Nathan Sheets, ekonom utama global di Citigroup Inc.

"Tarif semakin memberatkan, yang mungkin akan lebih lanjut melemahkan konsumsi dan permintaan impor AS," tulis Sheets dan rekan-rekannya dalam catatan terbaru, memperkirakan pertumbuhan global melambat di bawah 2% pada paruh kedua tahun ini, kemudian pulih menjadi 2,5% tahun depan. 

Stephen Jen, CEO Eurizon SLJ Capital, mengatakan mungkin butuh enam hingga delapan kuartal bagi dampak tarif untuk merugikan konsumsi dan mendorong pertumbuhan ekonomi AS mendekati nol, berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan guncangan harga impor.

"Guncangan tarif telah diserap menjadi enam bagian guncangan harga impor sebesar 2%, bukan tsunami tunggal sebesar 13%," tulisnya dalam catatan terbaru. 

Di antara mereka yang memperingatkan bahwa guncangan tarif belum berakhir adalah Mike Brundidge, yang memimpin Acme Food Sales Inc berbasis di Seattle, importir makanan seperti tuna kalengan dan air kelapa dari seluruh dunia untuk rantai ritel besar AS. 

Hingga kini, ia menanggung sebagian dampak dan meneruskan sebagian biaya kepada konsumennya. Namun, ia memperingatkan bahwa harga akan segera naik.

"Sangat sedikit hal dalam hidup yang pasti, tetapi saya dapat menjamin bahwa harga di rak toko bagi konsumen di supermarket akan naik. Tidak ada cara untuk menghindarinya," tegasnya.  

Teknologi  

Kekhawatiran dalam jangka pendek lainnya berpusat pada potensi terbaliknya euforia kecerdasan buatan (AI).

"Penilaian pasar saat ini mendekati level yang kita lihat selama euforia Internet 25 tahun lalu," kata Direktur Eksekutif IMF Kristalina Georgieva dalam pidatonya pada Rabu, merujuk pada gelembung dot-com yang meledak tahun 2000.

"Jika terjadi koreksi tajam, kondisi keuangan yang lebih ketat dapat menghambat pertumbuhan global, mengekspos kerentanan, dan membuat hidup semakin sulit bagi negara-negara berkembang."

Dalam skenario yang dimodelkan oleh Oxford Economics, perlambatan teknologi yang berfokus pada AS dapat mendorong ekonomi terbesar dunia mendekati resesi dan menjerumuskan pertumbuhan global ke 2% pada 2026 daripada 2,5% dalam skenario dasar—dengan prospek dampak yang lebih besar.

Itulah mengapa para ekonom kini semakin memperhatikan sektor teknologi untuk mencari kelemahan, bersama dengan ketidakpastian tarif yang terus berlanjut. Menurut Alexis Crow, ekonom utama PwC AS, demam AI tidak secara otomatis menjadi mesin pertumbuhan jangka panjang.

"Keputusan apakah ledakan investasi ini akan menghasilkan peningkatan produktivitas yang berkelanjutan dan karenanya lonjakan pertumbuhan yang signifikan masih belum pasti," tukasnya.

(bbn)

No more pages