Logo Bloomberg Technoz

Sebuah laporan dari platform keamanan siber, Forescout, mencatat ada 264 aktor ancaman berbeda yang berfokus pada AS, jauh lebih banyak daripada negara lain. Sebagai ekonomi digital terbesar di dunia, Amerika memiliki banyak target yang menguntungkan seperti lembaga federal, perusahaan Fortune 500, bank, rumah sakit, utilitas, dan infrastruktur penting.

Penyerang dari pelbagai jenis penjahat dunia maya yang mencari data atau tebusan, dan aktor negara bangsa misalnya APT Rusia, China, dan Iran tanpa henti menyelidiki jaringan AS. Misalnya pelanggaran AS baru-baru ini terkait penutupan jaringan pipa dan peretasan sistem kesehatan yang menelan biaya miliaran. Singkatnya, AS memimpin dalam jumlah serangan karena permukaan serangannya yang besar dan aset bernilai tinggi.

2. Ukraina

Ukraina telah mengalami frekuensi serangan tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah laporan Radware yang mencatat ada 2.052 serangan siber pada 2024 di Ukraina, lebih banyak daripada negara lain mana pun. Serangan-serangan itu sebagian besar bermotif politik, sebagian besar disponsori oleh Rusia atau merupakan serangan hacktivist yang terkait dengan perang. Pemerintah, militer, jaringan listrik, telekomunikasi, dan sistem perbankan Ukraina sudah dilanda gelombang serangan Distributed Denial of Service (DDoS), wiper malware, dan kampanye spionase. 

Faktanya, serangan terhadap Ukraina sudah meningkat tiga kali lipat sejak invasi 2022. Para peretas (hacker) bertujuan untuk mengganggu infrastruktur sipil dan mengikis kepercayaan terhadap pemerintah. Situasi Ukraina pun menunjukkan bagaimana zona perang menjadi medan pertempuran siber. Langkah-langkah defensif seperti pencadangan (backup) dan segmentasi jaringan sudah menggagalkan banyak intrusi, tetapi rentetan serangan yang tak henti-hentinya menjadikan Ukraina target utama berdasarkan volume.

3. Israel

Israel kerap menempati peringkat sysd dalam jumlah serangan siber 2024, mencerminkan ketegangan regionalnya yang terus-menerus. Radware melaporkan terdapat 1.550 serangan terhadap Israel pada 2024, terutama dari para hacktivist pro-Palestina. Kelompok-kelompok tersebut dan aktor yang didukung Iran telah melancarkan serangan DDoS, perusakan, dan kebocoran data terhadap bank, media, telekomunikasi, dan situs pemerintah Israel. Infrastruktur penting, energi, dan air juga sudah diselidiki. 

Peretasan tingkat rendah pun dapat menyebabkan gangguan besar dalam masyarakat Israel yang terhubung erat. Perang Gaza pada Oktober 2023 khususnya meningkatkan serangan, sejak itu intensitas serangan terhadap Israel meningkat tiga kali lipat. Kesimpulannya, perang siber yang didorong oleh konflik dan disponsori oleh hacktivist negara, menempatkan Israel di posisi teratas dalam daftar. Meskipun pertahanan siber Israel kuat, keunggulannya, ekonomi teknologi canggih, dan internetnya yang terbuka berarti Israel bakal tetap menjadi target utama pada tahun ini.

4. Jepang

Jepang memimpin jumlah serangan siber di kawasan Asia Pasifik (APAC). IBM X Force melaporkan 66% insiden di APAC terjadi di Jepang. Hal ini dikarenakan APAC menyumbang 34% dari insiden global, di mana Jepang sendiri berada di peringkat teratas di dunia.  Sementara itu, ekonomi Jepang dinilai sangat terdigitalisasi di sektor otomotif, elektronik, manufaktur, dan merupakan simpul penting dalam rantai pasokan global. Faktor-faktor ini menarik penjahat siber dan aktor negara. 

Kelompok APT dari China, Korea Utara (Korut), Iran, dan Rusia secara rutin menargetkan perusahaan Jepang untuk spionase industri dan data kepemilikan. Kejahatan umum seperti phishing, peretasan email bisnis, dan ransomware menyerang bank dan perusahaan Jepang. Misalnya, sektor manufaktur dan keuangan Jepang sudah mengalami kasus pelanggaran dan penipuan berulang kali. Singkatnya, industri maju dan kekayaan Jepang menjadikannya target siber yang alami. Menariknya, lonjakan APAC pada 2024 sebagian besar didorong oleh pangsa pasar Jepang yang tinggi.

5. Inggris Raya

Inggris secara konsisten berada di peringkat teratas untuk malware dan serangan siber. Data terbaru mempelihatkan Inggris merupakan negara ketiga yang paling banyak ditargetkan secara global untuk malware, tepat di belakang AS dan Kanada.  Dalam satu kuartal, Inggris melihat lebih dari 100 juta upaya kejahatan serangan siber. IBM X Force mengonfirmasi bahwa Inggris memimpin Eropa, menyumbang 25% dari insiden Eropa dengan Jerman di posisi kedua. 

Mengapa Inggris? Ekonomi digital yang besar dan kaya serta sektor keuangan atau teknologi yang besar menjadikan organisasi Inggris sebagai mangsa yang menguntungkan. Penjahat menjalankan kampanye phishing dan malware massal yang sering kali memalsukan merek-merek besar Inggris, menyerang bank, perusahaan asuransi, layanan kesehatan, dan universitas. 

Penetrasi dan kemakmuran internet Inggris yang tinggi berarti peretas memperoleh keuntungan yang baik dari penipuan, pencurian identitas, dan pembayaran ransomware tinggi. Laporan pun mencatat warga Inggris menghadapi rekor penipuan identitas dan bisnis dan kerugian ransomware yang terus meningkat. Singkatnya, negara yang makmur dan terhubung dengan dunia maya menjadikan Inggris sebagai magnet untuk serangan siber.

6. Arab Saudi

Di Timur Tengah, Arab Saudi berada di puncak daftar. Data IBM menunjukkan bahwa Arab Saudi bertanggung jawab atas 63% dari seluruh insiden siber di kawasan Timur Tengah. Sebagai eksportir minyak yang kaya dan kekuatan regional, Arab Saudi mempunyai infrastruktur penting dan jaringan pemerintah yang luas untuk ditargetkan. Peretas yang didukung Iran dan hacktivist lokal kerap mengincar kilang minyak dan gas, jaringan pipa, situs pemerintah, serta bank-bank Arab Saudi. 

Serangan Shamoon atau Flame yang terkenal satu dekade lalu dan kampanye wiper malware modern yang berulang kali menggambarkan ancaman ini. Lembaga keuangan dan perusahaan besar di Arab Saudi juga menghadapi upaya intrusi yang terus-menerus. Intinya, kepentingan strategis Arab Saudi dan persaingan regional, misalnya konflik Iran-Arab Saudi, menjadikannya target bernilai tinggi.

7. Brasil

Brasil memimpin statistik serangan siber di Amerika Latin. IBM melaporkan terdapat 53% insiden di Amerika Latin terjadi di Brasil, lebih banyak daripada gabungan semua negara lain. Sebagai ekonomi terbesar di kawasan ini, perbankan online, ritel, dan sektor publik Brasil yang tengah berkembang pesat memicu kejahatan siber.  Pada 2024-2025, Brasil mengalami serangan ransomware besar-besaran terhadap rumah sakit, pemerintah kota, dan universitas. Lalu, ada penipuan keuangan dan phishing merajalela yang menargetkan bank dan fintech Brasil. 

Peristiwa politik seperti pemilu pun telah memicu disinformasi dan upaya peretasan. Serangan seringkali mengeksploitasi sistem yang sudah ketinggalan zaman di sektor-sektor seperti layanan kesehatan dan utilitas. Singkatnya, ukuran dan pertumbuhan digital Brasil menjadikannya target nomor satu di Amerika Latin.

8. India

India melonjak naik dalam daftar tersebut. Studi terbaru oleh Acronis 2025 menemukan bahwa India merupakan negara yang terbanyak menjadi target serangan malware, dengan 12,4% dari semua malware endpoint yang diamati secara global. Hal ini mencerminkan populasi India yang besar dan infrastruktur digital, kota pintar (smart city), teknologi finansial (fintech), dan e-commerce yang berkembang pesat. 

Penjahat siber sedang meningkatkan kampanye phishing dan ransomware berbasis artificial intelligence (AI) di seluruh perusahaan India. Target utamanya termasuk bank, kelompok layanan kesehatan, dan portal pemerintah. Penyedia layanan telekomunikasi dan komputasi awan (cloud) India pun melaporkan lonjakan serangan. Contohnya, penipuan terhadap bank-bank India meningkat dua kali lipat dan varian ransomware baru yang kerap ditingkatkan dengan AI sudah menyerang perusahaan-perusahaan besar. Dengan begitu banyak pengguna daring dan pertahanan dasar yang relatif rendah, para penyerang melihat India sebagai target yang mudah dan berpeluang tinggi.

9. Jerman

Jerman secara konsisten berada di peringkat 10 besar dunia. Sebagai ekonomi terbesar di Eropa, Jerman menyumbang 18% insiden di Eropa pada 2024, kedua sesudah Inggris. Basis industri otomotif, mesin, dan kimia Jerman yang besar menjadi daya tarik spionase dan ransomware. Kejahatan terorganisir dan aktor negara-bangsa menargetkan perusahaan-perusahaan Jerman untuk mencuri kekayaan intelektual atau mengganggu rantai pasokan.

Lembaga pemerintah dan lembaga keuangan juga sering menghadapi peretasan oleh kelompok APT Rusia dan China yang mencari intelijen. Singkatnya, perpaduan industri bernilai tinggi dan peran Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) atau Uni Eropa (UE) yang berprofil geopolitik, menjadikan Jerman target siber utama.

10. Polandia

Polandia dengan cepat menjadi target utama, terutama dari aktor-aktor Rusia. Para pejabat melaporkan Polandia menghadapi 20-50 upaya serangan siber setiap hari, termasuk upaya untuk mengganggu rumah sakit dan sistem air kota. Otoritas Polandia mengatakan bahwa negara tersebut kini menjadi target serangan siber Rusia yang paling sering di UE. Konflik di dekat perbatasannya dengan Ukraina dan Belarus membuat jaringan listrik, utilitas, serta jaringan pemerintah dan militer Polandia terus-menerus diawasi.

Insiden-insiden penting baru-baru ini termasuk upaya untuk memutus pasokan air dan membombardir jaringan lokal dengan malware. Sebagai tanggapan, Polandia sudah meningkatkan anggaran pertahanan siber secara besar-besaran dengan mengumumkan anggaran sebesar 1 miliar euro pada 2025. Fokus yang intens dari aktor-aktor yang bermusuhan ini, ditambah dengan hubungan NATO dan Polandia, telah mendorong kemunculannya sebagai negara target utama serangan siber.

(far/wep)

No more pages