Pasar seng yang berjalan dua arah kini memperlihatkan kontras: di China, produksi meningkat, impor bijih mencetak rekor, dan permintaan relatif lemah; sementara di pasar global, stok menipis dan sejumlah smelter memangkas output.
Produksi seng di China pada Agustus mencapai titik tertinggi dalam 17 bulan, sedangkan persediaan di LME merosot ke level terendah dalam lebih dari dua tahun.
“Selisih antara pasar domestik dan luar negeri lebih menonjol pada seng dibanding logam lain,” tulis Zijin Tianfeng Futures Co. dalam catatan risetnya.
“Peluang konvergensi tinggi, baik melalui terbukanya jendela ekspor maupun lewat perbaikan margin bagi smelter di luar China.”
China terakhir kali mengirim volume ekspor seng dalam jumlah signifikan pada 2022, pasca invasi Rusia ke Ukraina, ketika lonjakan harga energi memaksa banyak smelter tutup dan harga di LME melesat.
Pada Mei 2022, ekspor seng melonjak hingga lebih dari 35.000 ton. Tahun ini, ekspor rata-rata hanya sekitar 1.200 ton per bulan hingga Juli.
Seng merupakan logam utama untuk galvanisasi baja, sehingga nasibnya di China sangat terkait dengan industri tersebut.
Namun, permintaan baja domestik merosot, terpukul krisis properti yang berlarut-larut, sementara aktivitas ekonomi secara keseluruhan juga melemah tajam dalam beberapa bulan terakhir.
Sebaliknya, pasar global jauh lebih ketat. Backwardation cash-to-three month di LME pada Selasa menyentuh level tertinggi sejak Oktober tahun lalu di atas US$40 per ton, sementara harga acuan menembus US$3.000 per ton untuk pertama kalinya sejak awal perdagangan 2025.
(bbn)

































