"Tidak suka," jawab kedua siswa tersebut.
Seruan Evaluasi Menyeluruh
Peneliti sosial dari The Indonesian Institute (TII) Made Natasya Restu Dewi Pratiwi melihat gejala banyaknya siswa yang enggan mengonsumsi MBG sebagai alarm. Menurutnya, BGN tidak cukup hanya mengubah menu, tetapi harus melakukan evaluasi lebih dalam.
"Adanya siswa yang tidak mengonsumsi MBG seharusnya menjadi momentum untuk moratorium sementara, agar program ini dikaji dan dievaluasi secara mendalam," kata Natasya.
Ia menekankan evaluasi harus dilakukan bersama berbagai pemangku kepentingan, mulai dari BPOM, Kementerian Kesehatan, Bappenas hingga pengawas keamanan pangan di sekolah. Tujuannya, menjaga standar kebersihan, kualitas nutrisi, dan akuntabilitas penggunaan anggaran.
Evaluasi partisipatif, menurutnya, wajib dilakukan. Siswa, guru, akademisi, pakar gizi hingga masyarakat sipil perlu dilibatkan. Survei umpan balik bisa menjadi cara efektif untuk memetakan faktor yang membuat anak menolak makanan.
"Kalau alasannya karena trauma keracunan misalnya, pemerintah harus memperkuat SOP keamanan dan distribusi makanan. Kalau soal jam distribusi, sekolah bisa memetakan jam lapar anak. Kalau soal selera, menu perlu dikreasikan dengan bahan lokal agar lebih familiar," ujarnya.
Natasya menyarankan keterlibatan UMKM lokal bisa menjadi strategi untuk menyajikan makanan berbasis kearifan daerah sekaligus mendorong inovasi menu agar siswa lebih bersemangat menyantap MBG.
Bukan untuk Semua Anak
Di sisi lain, Ketua Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai MBG perlu diarahkan lebih tepat sasaran. Menurutnya, program ini tidak seharusnya diberikan secara merata kepada semua siswa sekolah.
"Kalau tujuannya mencukupi gizi, kita sudah punya data angka ketercukupan gizi. Jadi, penerimanya harus mereka yang stunting atau kekurangan gizi. Anak dari keluarga mampu, gizinya cukup, kalau menunya enggak enak ya pasti enggak dimakan," kata Ubaid.
Ia juga mengingatkan agar dana pendidikan tidak terganggu akibat alokasi MBG. Menurutnya, masih banyak kebutuhan pendidikan yang lebih mendesak, seperti peningkatan kualitas guru, perbaikan infrastruktur sekolah hingga perluasan akses pendidikan untuk anak-anak dari keluarga miskin.
"Kalau anggaran pendidikan digerogoti MBG, ya morat-marit. Masih banyak sekolah rusak, guru kompetensinya rendah, dan jutaan anak tidak bisa sekolah. Itu dulu yang harus diprioritaskan," sarannya.
Lebih jauh, Ubaid menyinggung aspek hukum. Ia menyebut program MBG yang menyedot anggaran pendidikan justru berpotensi melanggar amanat konstitusi yang menekankan pembiayaan sekolah gratis oleh negara.
"Pasal 31 UUD jelas, pendidikan dibiayai negara. Putusan MK juga menegaskan sekolah harus tanpa pungutan. Faktanya, 76% anak putus sekolah karena faktor ekonomi. Nah, dana yang seharusnya menopang pendidikan malah dipakai untuk makan-makan," jelas Ubaid.
Jalan Panjang MBG
Fenomena banyaknya makanan tak termakan membuat MBG berada di persimpangan: di satu sisi program ini digadang sebagai jawaban atas masalah gizi anak, tetapi di sisi lain realisasi di lapangan masih menghadapi tantangan besar, mulai dari menu hingga tata kelola anggaran.
Pemerintah kini dituntut untuk menimbang ulang, apakah MBG akan dilanjutkan dengan perbaikan menyeluruh atau justru dihentikan sementara untuk dievaluasi.
Yang pasti, suara siswa, guru, orangtua, pakar gizi hingga masyarakat sipil semakin keras terdengar: makanan gratis saja tidak cukup—harus ada kualitas, ketepatan, dan keberlanjutan yang nyata.
(dec/ros)
































