Pasalnya, untuk barang dan jasa non-mewah, beban efektif tetap setara 11% melalui skema Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12.
“Tinggal pastikan pelaku usaha tidak melakukan mark up harga yang bisa memicu kemarahan,” katanya.
Selain itu, ia menilai Kementerian Keuangan harus memberi pagar bagi pajak daerah dalam kerangka Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD). Tujuannya agar lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), maupun pungutan lokal tidak melonjak tanpa masa transisi.
Selain itu, pada sisi ekstensifikasi cukai, Syafruddin menyarankan pemerintah menunda kebijakan baru yang sensitif, seperti rencana cukai minuman berpemanis, "sampai desain tarif bertahap, pengecualian UMKM, serta earmarking kesehatan siap, lalu komunikasikan jadwalnya secara jelas."
Pos Pajak yang Dikeluhkan Masyarakat
Ketika ditanya perihal pajak apa yang sudah atau akan naik yang kemungkinan dikeluhkan oleh masyarakat saat ini, Syafruddin berpandang pos perpajakan yang dikeluhkan masyarakat terbagi antara pusat dan daerah.
Di tingkat pusat, menurutnya kebijakan yang banyak disorot meliputi penerapan tarif PPN hukum positif 12%, meski secara efektif beban untuk barang dan jasa non mewah tetap setara 11%, sementara barang dan jasa mewah dikenakan tarif penuh 12%.
Selain itu, pada 2025 tidak ada kenaikan tarif cukai hasil tembakau, namun penyesuaian harga jual eceran diperkirakan dapat mengerek harga rokok.
"[selain itu] rencana cukai minuman berpemanis yang ditunda, wacana cukai plastik yang belum masuk APBN, serta pajak karbon yang memiliki dasar UU tetapi implementasinya masih ditunda [dapat disorot masyarakat]," jelasnya.
Adapun di sisi daerah, penyesuaian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), serta berbagai tarif lokal sesuai rezim UU HKPD menjadi sorotan karena di sejumlah wilayah kenaikannya melonjak cepat dan memicu protes.
Untuk Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, struktur progresif hingga 35% menurut dia sebenarnya sudah berlaku sejak 2022 sehingga bukan isu baru. Yang justru kerap muncul adalah harapan adanya kenaikan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), namun sejauh ini belum ada tanda perubahan dalam waktu dekat.
"Mengelola paket ini dengan urutan yang benar—stabilkan dulu ekspektasi, lindungi kebutuhan dasar, kuatkan kepatuhan kelompok atas, baru perluas basis—akan meredakan tensi sosial, menjaga kepercayaan, dan tetap mengamankan fondasi penerimaan negara," pungkasnya.
(ain)






























